Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korban "Bengkel Tulang" Meningkat

Kompas.com - 21/07/2008, 18:39 WIB

KASUS infeksi dari luka patah tulang akibat ditangani oleh dukun patah tulang setiap tahunnya terus meningkat sehingga perlu pengawasan dan pendidikan kepada praktik dukun patah tulang.

Menurut keterangan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Darmadji Ismono, di Bandung, Senin (21/7), selama periode 1998-2000 terdapat 56 kasus kecacatan anggota gerak (neglected fractures) dari 1.224 kasus patah tulang yang berobat ke poliklinik Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.  Sedangkan periode 2003-2007, jumlah kasus serupa mengalami peningkatan menjadi 150 penderita.

Dikatakan Darmadji , di antara 150 penderita, sebanyak 22 pasien mengalami infeksi, 32 pasien mengalami deformitas, bahkan untuk menyelamatkan jiwanya diperlukan tindakan amputasi. Dia berpendapat, peningkatan kasus infeksi patah tulang itu, terjadi karena ditangani sejumlah pengobatan alternatif patah tulang (bone setter) yang belakangan juga turut menangani luka patah tulang serius.

"Padahal pengobatan alternatif seharusnya hanya menangani patah tulang sederhana. Tidak untuk patah tulang yang mengalami perubahan bentuk, ataupun patah tulang terbuka yang akan menyisakan kecacatan anggota gerak," ujar Darmadji.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah seharusnya melakukan pengawasan dan pendidikan terhadap dukun patah tulang, sehingga korban tidak bertambah. Peran dukun patah tulang hendaknya ditata secara terkendali oleh Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).

Perkembangan penanganan patah tulang yang salah, menurut Darmadji, hanya diketahui pihak rumah sakit. Sedangkan masyarakat sendiri tidak mengetahuinya. Kemungkinan dikarenakan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah.

"Di samping jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan yang masih kurang, pendapatan yang masih rendah memaksa mereka mencari pertolongan dukun patah tulang, dengan resiko terjadinya neglected fractures," demikian Darmadji.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com