Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ciliwung, Paradoks Budaya Kita

Kompas.com - 28/02/2009, 03:06 WIB

Ilham Khoiri

Apa yang tertangkap dari puluhan foto Sungai Ciliwung yang kian compang-camping dari hulu ke hilir? Paradoks budaya. Ya, kita perlu sungai itu sebagai sumber kehidupan, tetapi kita pula yang turut merusaknya.

Harian Kompas menggelar pameran foto ”Ciliwung Impianku” di Lobi Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, 28 Februari-8 Maret 2009. Pergelaran bakal dibuka Sabtu (28/2) ini pukul 18.30. Sebelumnya, pukul 15.00, dipresentasikan 10 karangan terbaik hasil Lomba Mengarang dengan tema sama dan kemudian dipilih tiga terbaik.

Pameran menyajikan 60-an foto hasil jepretan empat fotografer Kompas: Riza Fathoni, Agus Susanto, Priyombodo, dan Wisnu Widiantoro. Foto-foto itu dibuat saat mereka mengikuti Ekspedisi Ciliwung 2009, 16-22 Januari. Ekspedisi ini menyusuri sungai sepanjang 100-an kilometer dari hulu di Puncak, Bogor, hingga hilir di Teluk Jakarta itu.

Bagaimana foto-foto itu menggambarkan paradoks budaya?

Ambil contoh foto ”Pencemaran Kanal Sungai Ciliwung” karya Riza Fathoni. Ada tiga bocah telanjang asyik bermain di Sungai Ciliwung di kawasan Mangga Besar yang dipenuhi busa limbah bergumpal-gumpal. Anak-anak lugu itu terpaksa memanfaatkan sungai yang tercemar untuk bermain lantaran mungkin hanya itulah lahan terbuka yang mudah diakses.

”Miris menatap pemandangan ironis itu, saya langsung memotretnya,” kata Riza.

Foto lain, ”Banjir Kiriman” karya Agus Susanto, mengabadikan bocah membawa seember kue untuk dijajakan di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Demi membantu keluarga, anak sekecil itu berjibaku menerabas bahaya air bah Ciliwung.

Ironi macam ini muncul dari banyak foto lain. Ada foto ibu-ibu mencuci dengan air kotor sungai. Anak-anak bermain di gunungan sampah. Atau, warga mengais-ngais ikan dari sungai kumuh.

Semua potret itu menyuguhkan paradoks budaya. Kita kerap menyuarakan pentingnya Ciliwung sebagai sumber kehidupan manusia—seperti tercatat sejak kejayaan Kerajaan Pasundan-Pajajaran abad ke-15 hingga ke-16 Masehi. Namun, saat bersamaan, kita membiarkan perusakan sungai itu. Sungai yang jadi sumber kehidupan pun menjelma sebagai biang bencana.>kern 251m<

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com