JAKARTA, KOMPAS.com — Di usia menginjak remaja, banyak konsep kehidupan mulai dipahami oleh para siswa, mulai soal orangtua dan kehidupan keluarga, teman, budaya, belajar atau sekolah, bahkan tentang dirinya sendiri. Maka, ketika lingkungan sekitarnya tidak tanggap untuk mendukungnya dengan ajaran dan nilai-nilai moral yang kuat, pemahaman siswa tentang konsep kehidupan pun melemah.
Pendapat tersebut pernah dikatakan oleh Thomas J Martinek, seorang profesor dari University of North Carolina at Greensboro, Amerika Serikat. Menurutnya, masa remaja merupakan masa paling penting, tetapi sekaligus juga masa yang sangat sukar dilalui.
Ya, di usia mereka, para remaja mulai banyak menelan konsep kehidupan. Dari yang teringan hingga masalah paling berat, baik itu tentang keluarga dan orangtuanya, temannya, budaya yang dianutnya, sekolahnya, gaya belajarnya, serta mengenai dirinya sendiri.
Tak pelak, di saat lingkungan sekitarnya kurang mendukung dengan nilai-nilai moral yang kuat, pemahaman mereka tentang konsep-konsep kehidupan pun seketika melemah. Akibatnya, mereka seolah "tersesat", bagaikan "makhluk" yang tidak tentu arah melalui jalan hidupnya sendiri.
Sepuluh tahun lalu, saat menyadari kondisi tersebut, Martinek membuat Project Effort. Proyek tersebut didesainnya bak sebuah klub atau program ekstrakurikuler (after school program) bagi remaja-remaja yang "bermasalah" (at-risk students) dengan usia antara 11 sampai 18 tahun.
Dengan program tersebut, Martinek lalu membimbing para remaja "bermasalah" itu untuk menghargai dirinya sendiri, memahami eksistensi mereka di antara orang lain, serta mendorong mereka untuk memedulikan dan menghargai sikap orang lain. Pada diri para remaja tersebut, Martinek pun menanamkan motivasi sehingga akhirnya mereka dapat menjadi manusia yang lebih baik.
Ternyata, Project Effort hanya sebuah proyek yang tampak biasa saja, tidak terlalu istimewa. Apa yang dilakukan oleh Martinek lewat proyek tersebut adalah proses pembelajaran yang melalui pendekatan olahraga.
Para remaja diajaknya bermain basket. Tetapi bukan sekadar bermain karena dengan permainan itulah Martinek mulai menanamkan benak remaja-remaja itu dengan pemahaman akan arti diri mereka bagi kelompoknya, kontribusi mereka terhadap tim, serta mengajari mereka bertanggung jawab sebagai bagian dari tim basket tersebut.
Riang, ringan, tanpa menggurui
Di mata Martinek, kegiatan ekstrakurikuler bukan sekadar tempat menyalurkan hobi belaka. Jika disalurkan secara efektif, kegiatan ekstrakurikuler, khususnya yang berbasis kegiatan fisik, dapat membentuk karakter seorang siswa.