Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Momentum Animo Masuk SMK

Kompas.com - 15/07/2009, 15:56 WIB

Oleh Redi Panuju

Jumlah peminat sekolah menengah kejuruan negeri di Surabaya tahun ini naik sekitar 5.000 orang. Jumlah pendaftar masuk SMK tahun ini mencapai 16.076 orang, padahal pagunya hanya 7.390 orang. Ternyata animo luar biasa siswa di Surabaya untuk memburu SMK tidak hanya di SMK negeri. Sejumlah SMK swasta merasakan hal serupa. Sebagian besar lulusan SMP yang gagal menembus SMK negeri menyerbu ke beberapa SMK swasta. Namun, jumlahnya belum terdeteksi.

Inilah fenomena pergeseran persepsi masyarakat, yang semula mengorientasikan pendidikan setinggi-tingginya sehingga prioritasnya ke SMA dan berubah menjadi sepraktis-praktisnya. Gelar sudah tidak terlalu penting dalam konstelasi harapan sosial. Realitasnya, kompetensi dan keterampilan yang menentukan kesuksesan hidup di masyarakat. Maka, orientasi pendidikan lebih ditekankan pada bagaimana setelah purnastudi mendapatkan pekerjaan. Mungkin ini lebih realistis mengingat beban hidup semakin berat, sementara biaya studi hingga perguruan tinggi semakin mahal. Pilihan selangkah demi selangkah merupakan strategi lebih cerdas. Pasalnya, setelah lulus SMK, siswa masih dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Ada juga yang berpikir bahwa yang penting bekerja dahulu untuk mendapatkan penghasilan, setelah itu bisa nyambi kuliah.

Meningkatnya animo lulusan SMP melanjutkan ke SMK juga disebabkan keberhasilan pemerintah menyosialisasikan pentingnya SMK melalui iklan layanan masyarakat di televisi maupun media cetak.

Pergeseran animo masyarakat dari SMA ke SMK di satu sisi memberikan optimisme terhadap persoalan penganggur lulusan SMA, yang memang kurikulumnya didesain bukan untuk bekerja. Namun, di sisi lain juga harus diwaspadai implikasi menyimpangnya. Maksudnya, jangan sampai pergeseran preferensi ini diikuti sikap latah untuk mendirikan SMK sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan persyaratan-persyaratan yang ketat. Apabila terjadi, hal ini pasti akan berakibat pada pergeseran orientasi hanya berefek formalitas, tetapi jauh dari realitas empirisnya.

Direktur Pembinaan SMK Departemen Pendidikan Nasional Joko Sutrisno mengemukakan, sekitar 100 SMA di berbagai daerah berubah menjadi SMK. Perubahan status tersebut paling banyak di kalangan SMK swasta (Kompas, 7/7). Inilah yang saya maksudkan dengan "latah". Perubahan status hanya mengikuti persepsi bahwa fenomena itu sebagai peluang bisnis. Pertanyaannya, apakah perubahan serta-merta atau mendadak dari SMA ke SMK itu juga diikuti perubahan karakter. Sebagai contoh, dalam pendidikan SMK jelas lebih banyak tuntutan praktikumnya. Maka logikanya, infrastruktur laboratorium atau bengkel pelatihan mesti dikuatkan. Semua itu membutuhkan investasi tidak sedikit dan waktu tersendiri.

Karena itu, seyogianya pihak diknas tidak serta-merta meloloskan pengajuan status tersebut. Jika perlu, sebelum meloloskannya, verifikasi faktual dilakukan untuk mengukur tingkat kelayakannya. Memang hal ini mengakibatkan tuntutan birokratisasi tersendiri. Namun, itu lebih baik ketimbang mempermudah meloloskan yang berakibat involusi pendidikan SMK.

Pesan singkat tulisan ini adalah mari menjaga momentum perubahan orientasi pendidikan di masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan- penyimpangan yang tidak perlu. Pemerintah harus menjaga momentum ini dengan tetap konsisten pada kebijakan membangun sekolah kejuruan dalam pengertian sebenar-benarnya, mulai memenuhi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, menjamin kesejahteran guru dan karyawan, sampai menjaga mutu pendidikan dan pengajarannya.

Andaikan sarana dan prasarana terpenuhi tetapi pengajar (tutor) kurang profesional, perangkat pelatihan tidak ada artinya. Begitu juga sebaliknya, pengajarnya berkualitas, prasarananya tidak memadai, dan efek keterampilannya kecil. Hal terakhir dapat diatasi dengan jejaring dunia kerja melalui proses 'magang" atau "praktik kerja".

Peserta didik dan lingkungannya (terutama keluarga) juga harus menjaga momentum. Masyarakat harus siap dengan pola pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran di SMA. Pendididikan di SMK lebih banyak pada praktikum ketimbang penguasaan teori. Maka, siswa membutuhkan waktu lebih banyak di luar ketimbang belajar di rumah.

Semoga semakin hari bangsa ini semakin maju melalui jalur pendidikan yang benar. " Peserta didik dan lingkungannya (terutama keluarga) juga harus menjaga momentum.

" REDI PANUJU Staf Pengajar Fikom Universitas Dr Soetomo Surabaya

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com