Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akses Pendidikan Terbatas

Kompas.com - 23/11/2009, 06:48 WIB
 

SoE, KOMPAS.com - Kesenjangan akses pendidikan antardaerah masih menjadi persoalan utama. Penyebabnya, antara lain, adalah lokasi terlalu jauh akibat pengaruh topografi wilayah berupa perbukitan dan permukiman yang tidak merata.

Salah satu cara mengatasi persoalan itu adalah dengan mendekatkan sekolah kepada masyarakat. Persoalan utama, alokasi anggaran untuk pendidikan.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur Hendrik Paut mengatakan, untuk menyiasati kurangnya bangunan sekolah, pemerintah daerah membuka ”pendidikan satu atap” dengan menggabungkan SD dan SMP di satu bangunan. Pendidikan satu atap ini mulai dijalankan di Desa Nualunat, Kecamatan Kot’Olin.

”Ini persoalan paling mendasar di sini. Jarak sekolah dan mayoritas rumah warga terlalu jauh,” ujar Hendrik saat ditemui di SoE, ibu kota TTS, Jumat (20/11).

Bupati TTS Paul VR Mella mengakui, hambatan utama peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya adalah infrastruktur bangunan sekolah dan jumlah guru. TTS yang luas wilayahnya 3.947 km hanya memiliki 466 SD, 71 SMP, 19 SMA umum, dan 5 SMK (TTS Dalam Angka 2007). Adapun guru SD sebanyak 4.292 orang yang melayani 71.057 siswa, SMP 71 guru untuk 16.705 siswa, SMA umum 470 guru untuk 6.974 siswa, dan SMK 5 guru untuk 2.470 siswa. ”Sarana sekolah, buku, dan guru masih sangat dibutuhkan. Untuk sementara, dengan pendidikan satu atap itu anak-anak yang putus sekolah akhirnya kembali ke sekolah,” kata Mella di kantornya.

Untuk mendekatkan fasilitas pendidikan, Yasina Nomlini, guru honorer di SD Negeri di Desa Niki-Niki Un Kecamatan Oenino, mengusulkan sekolah jarak jauh. Saat ini sudah ada sekolah jarak jauh darurat dibangun masyarakat setempat dengan bahan seadanya: dinding dari pelepah kelapa, beratap rumput. ”Kalau bisa, dibuat bangunan permanen. Jika ini ada, anak-anak tak perlu jalan jauh ke sekolah,” ujarnya.

Jarak yang jauh menjadi alasan utama banyaknya anak memilih tidak sekolah. Jarak rata-rata rumah ke sekolah 2-4 kilometer. Setiap anak rata-rata harus berjalan kaki 2-3 jam untuk mencapai sekolah. ”Banyak anak terlambat masuk sekolah karena rumahnya jauh. Kami maklum. Yang penting mereka masih mau sekolah,” kata Selvina Benu, guru sekolah jarak jauh SD Inpres Bnafo di Desa Panite, Kecamatan Kot’Olin (71 kilometer dari SoE).

Honor guru

Untuk meringankan beban tenaga pengajar, masyarakat TTS mengalokasikan anggaran khusus untuk insentif guru honorer dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus (DTK) atau yang dulu dikenal dengan Program Percepatan Daerah Tertinggal dan Khusus dari alokasi keseluruhan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Rp 2,1 miliar.

Sebelum menerima bantuan dari PNPM DTK sebesar Rp 500.000 sejak Januari 2009-Desember 2009, hanya 1 tahun, guru honorer SD Negeri Oenino, Dina Banfatin, mengaku, kadang-kadang menerima honor dari sekolah, kadang-kadang tidak. Besarannya pun tak tentu, Rp 100.000-Rp 150.000 per bulan. ”Tergantung kepala sekolah mau kasih berapa. Kami harap PNPM DTK terus dilanjutkan, terutama untuk insentif guru,” kata Dina.

Terkait nasib guru honorer, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengakui, pengangkatan guru honorer belum jelas karena perekrutan juga tidak dilakukan dengan baik. (LUK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com