Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plagiat dan Kegersangan

Kompas.com - 19/02/2010, 03:06 WIB

Oleh Teuku Kemal Fasya

Wajah perguruan tinggi Indonesia kembali biru-lebam. Seorang guru besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan dituduh melakukan plagiarisme atau penjiplakan tulisan Carl Ungerer, penulis asal Australia.

Menurut pernyataan The Jakarta Post, artikel ”RI as a New Middle Power” adalah copy-paste dari tulisan yang diterbitkan di sebuah jurnal politik dan sejarah di Australia, ”Middle Power: Concept in Australian Foreign Policy” (The Jakarta Post, 4/2). Kasus ini memang akhirnya membongkar praktik plagiarisme sang profesor yang telah dilakukan enam kali (Kompas, 10/2).

Bukan pertama

Penjiplakan adalah dosa besar dalam dunia pengetahuan, seni, dan sastra. Penjiplakan menunjukkan bahwa otoritas keilmiahan seseorang dikangkangi dengan brutal demi kepentingan pribadi. Namun, apakah yang pantas disebut sebagai plagiat?

 Menurut Ajib Rosidi, plagiat adalah pengumuman sebuah karya pengetahuan atau seni oleh ilmuwan atau seniman kepada publik atas semua atau sebagian besar karya orang lain tanpa menyebutkan nama sang pengarang yang diambil karyanya. Sikap ini agar publik mengakui bahwa karya yang diambil sebagian atau semua karya orang lain itu sebagai karyanya (Kompas, 26/8 2006). Di negeri ini, praktik plagiat telah banyak ditemukan sebelum ini.

 Di samping sejarah kontroversial plagiarisme penyair angkatan 45, Chairil Anwar, yang dituduh mencomot karya-karya berbahasa Inggris dari penulis Achibald MacLeish, John Cornford, Conrad Aiken, dan lain- lain, ada praktik yang sebenarnya lebih tercela dilakukan oleh para akademisi—yang kebetulan semuanya berasal dari perguruan tinggi di era sekarang. Menurut saya, tindakan Chairil Anwar tidak cukup tepat dianggap plagiasi. Ia bukanlah penjiplak buta (copy cat). Ia hanya mengambil ”inti cahaya” bacaan-bacaan besar yang berbahasa Inggris dan ”menyinarinya” ke dalam bahasa Indonesia. Tentu saja itu sebentuk kreativitas.

Namun, tak ada yang menolak jika tindakan seorang doktor politik lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2000 dianggap plagiat. Disertasinya tentang sejarah petani di era Orde Baru mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti LIPI, yang anehnya baru ketahuan ketika disertasi itu diterbitkan jadi buku.

Atau apa yang dilakukan seorang doktor FISIP Universitas Indonesia pada 1997 yang melakukan tindakan menghalalkan cara, menganibalisasi makalah mahasiswa dan dosen yang lalu dipublikasi sebagai syarat pengurusan guru besar. Tindakan sang doktor ini bahkan termasuk spektakuler, dengan mengambil hampir seratus persen karya orang lain dan hanya mengubah nama pengarang. Tidak kurang dari 22 karangan dijiplak.

Semakin birokratis

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com