Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi, Sebuah Pertaruhan Nasib Guru

Kompas.com - 17/05/2010, 18:48 WIB

KOMPAS.com - Saat siswa mempertaruhkan masa depan pendidikannya di ujian nasional (UN) ulang, guru dihadapkan dengan pertaruhan nasibnya sendiri saat menunggu pengumuman hasil UN tersebut. Masyarakat menganggap guru sebagai salah satu pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban saat angka kelulusan turun.

Masa-masa menjelang UN hingga menunggu kelulusan tak kalah membuat jantung berdebar untuk para pengajar. Tanggung jawab mereka sebagai pengajar dan pendidik mau tak mau membuat mereka merasakan juga hal itu.

“Tiap hari, saya dan para guru menghadapi 800 karakter siswa yang berbeda. Angka itu bisa naik hingga 2.400 karakter di saat-saat UN seperti ini,” ungkap Kepala SMPN 34 Pademangan H. Suyoto kepada Kompas.com di sela berlangsungnya UN ulang di sekolah tersebut, Senin (17/5/2010).

Suyoto menganalogikan adanya tiga karakter yang harus dihadapinya. Pertama karakter seorang siswa, kedua karakter ayah dan ibu atau kedua orang tua siswa. Itu berarti, kata dia, setidaknya ada tiga orang yang sekaligus kecewa saat seorang siswa tidak lulus.

Sejatinya, para guru adalah personifikasi dari institusi sekolah yang harus menanggung kekecewaan keluarga siswa yang tidak lulus. Selain pematangan penguasaan materi di kalangan siswa-siswanya, tak banyak pilihan jalan keluar yang bisa ditempuh para guru tersebut untuk menghindari kekecewaan mereka.

“Selama beberapa bulan menjelang UN dan UN ulang, sekolah mengadakan try out seminggu sekali. Untuk menambah percaya diri dan ketenangan siswa selama ujian, sekolah juga mengadakan konseling dan kegiatan doa bersama memohon kelulusan,” lanjut Suyoto.

Suyoto menjelaskan, hal-hal tersebut penting, namun kecil pengaruhnya dibandingkan ada tidaknya dukungan nyata dari lingkungan sekitar, baik dari orang tua, tetangga, maupun masyarakat, serta kemauan individu.

“Saya bukannya mau mencari kambing hitam, tapi coba bayangkan, mereka (para siswa) hanya lima jam di sekolah, sisanya dihabiskan di lingkungan masing-masing. Coba, bayangkan kalau mereka tinggal di (rumah) petakan,” sambung Suyoto.

Kiranya, secara lebih luas lagi, keluarga yang tidak hanya akan menuntut siswa berprestasi dan lingkungan yang menghormati hak belajar siswa sangat dibutuhkan, yaitu sebagai pelecut motivasi pribadi sekaligus media internalisasi pendidikan melalui tekanan sosial yang positif. Efek dari semua ini akan terasa, terlebih di saat berlangsungnya UN ulang seperti ini.

Ironisnya, di era pendidikan yang kini semakin terbuka untuk privatisasi, hubungan guru dan siswa semakin tidak saling menguntungkan. Fenomena "ada uang, ada barang" semakin terasa dalam hubungan tersebut. Puncaknya, pelimpahan kesalahan terbesar pada guru saat siswa gagal dalam UN kian tidak bisa dihindari. (Roberto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com