Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gudang Animator, Gudang "Tukang Jahit"

Kompas.com - 22/05/2010, 15:25 WIB

Yogyakarta adalah gudang animator. Tidak percaya? Bertepuk tanganlah, maka animator yang biasa suntuk bekerja diam-diam dengan gambar itu akan bermunculan dari segenap penjuru. Istilah bertepuk tangan atau "keplok" itu keluar dari mulut Tyas Enka, pemilik Jogja View Production House, yang mulai fokus menggarap animasi.

"Potensi animator di sini sangat besar. Asal ada proyek, tinggal keplok saja mereka semua akan datang," katanya, sambil tersenyum, Jumat (21/5).

Banyaknya animator itu tidak terlepas dari keberadaan sekolah- sekolah seni di DIY. Selain animator yang mencicipi bangku kuliah, misalnya di Institut Seni Indonesia, tak sedikit pula yang lulus dari Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Banyak juga yang belajar animasi otodidak.

Dari tangan mereka, diam-diam telah lahir sejumlah karya yang diakui dunia. Beberapa dari mereka biasa menggarap proyek animasi pesanan Malaysia, Jepang, Perancis, hingga Amerika Serikat.

Disebutkan dalam Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009, sejumlah karya animasi anak Yogyakarta mendapat penghargaan baik di festival nasional maupun internasional. Film Cindelaras produksi Bening Animasi mendapat penghargaan Best Art Director di Festival Film Pendek Korea (2004). Disebutkan juga, film layar lebar animasi pertama di Indonesia berjudul Rakai Panangkaran dibuat di Yogyakarta.

Tukang jahit

Namun, jika Yogyakarta gudang animator, di manakan karya mereka berada? Mengapa tidak ada karya yang dikenal, minimal sepopuler Upin dan Ipin dari Malaysia?

Pendiri Animacity, Hariyanto, menuturkan, sejauh ini, para animator kesulitan membuat karyanya dikenal. Bukan karena kemampuan berkreasi, melainkan persoalan minimnya infrastruktur pendukung.

Di Malaysia, industri animasi berkembang karena ada dukungan pemerintah. Pengusaha dengan modal kuat berani masuk karena mendapat jaminan iklim usaha kondusif. Stasiun televisi mendukung sehingga pemasaran produk animasi menjadi lebih mudah.

Di Korea demikian juga. Stasiun televisi lokal seperti KBS bahkan hanya boleh menyiarkan karya animasi lokal. Pemerintah memberi dukungan dengan pembiayaan kepada KBS. Dampaknya, animasi Korea berkembang, memiliki ciri, dan dikenal luas.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan Indonesia. Produksi film animasi tidak mendapat jaminan pasar. Tidak ada dukungan kebijakan agar stasiun televisi menayangkan konten lokal. Akhirnya banyak studio animasi memilih mengerjakan proyek iklan maupun proyek film pesanan dari luar negeri.

Padahal, saat mengerjakan proyek film dari luar negeri, mereka sama sekali tidak mendapat hak cipta. Di negara pemesan, karya itu dikemas ulang tanpa perlu menyebut siapa pembuatnya. "Jadi, animator kita cuma tukang jahit bagi film-film animasi produksi luar negeri," ungkap Hariyanto.

Inilah persoalan klasik Yogyakarta, mungkin juga Indonesia. Kekayaan sumber daya manusia tersia-sia sehingga peluang yang ada diisi produk asing. Seperti wajah Melayu Upin dan Ipin kini lebih populer bahkan sampai emperan dibandingkan dengan wajah lokal seperti Unyil atau Komo. (ARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau