Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masuk SLB, Anak Disleksia Bisa Syok!

Kompas.com - 02/08/2010, 16:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak orangtua kurang mengerti akan keadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti disleksia. Tak heran bila banyak orangtua cenderung menempatkan anaknya yang mengidap disleksia di sekolah luar biasa (SLB), karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum. Padahal, tindakan tersebut dapat mengakibatkan anak menjadi syok.

"Anak disleksia tidak cocok masuk SLB," ungkap Vitriani Sumarlis, Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, di sela acara Dyslexia Awarness di Jakarta, Minggu (2/11/2010).

Disleksia merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik pada anak, seperti kesulitan membaca, mengeja, menulis, dan berhitung. Walau demikian, mereka memiliki tingkat kecerdasan setingkat dengan anak-anak normal, bahkan bisa melebihinya, sehingga mereka pun bisa diterima di sekolah umum.

Menurut Vitri, SLB lebih tepat untuk anak berkebutuhan khusus lainnya seperti tuna grahita atau tuna rungu. Sekolah tersebut, lanjut dia, menampung anak-anak dengan kecerdasan di bawah normal atau IQ di bawah 62, sementara anak disleksia memiliki IQ rata-rata 90 hingga 110.

Anak disleksia masih memiliki penalaran yang baik, logika baik, serta kemampuan analisis yang baik. Maka, bila orangtua tetap memaksakan anak disleksia masuk SLB, kata Vitriani, akan membuat mereka menjadi syok.

"Anak disleksia rentan stres karena kegagalan akademik. Kemudian, jika dimasukkan ke SLB, justru mereka akan berpikir bahwa dirinya stupid betul. Yang ada, mereka malah tambah tidak percaya diri, kok, saya disamakan dengan anak SLB. Mereka akan syok dan merasa semakin tidak berarti bila dibandingkan dengan teman-temannya," kata Vitri.

"Karena itu sebaiknya anak disleksia dimasukkan ke sekolah inklusi atau khusus, karena tujuan memasukkan ke sekolah tersebut untuk belajar bersosialisasi," tambah Vitri.

Menurutnya, selama ini orang sering salah persepsi. Anak disleksia itu adalah anak yang normal. Yang membedakan, kata Vitri, hanya cara belajarnya.

Pada sekolah khusus, ungkap Vitri, ukurannya lebih kecil. Satu kelas maksimal 10 anak dengan dua orang guru, sehingga pendekatan terhadap anak dileksia lebih personal.

Secara kurikulum, perlakuan terhadap anak disleksia juga sama dengan anak-anak normal. Bahkan, mereka juga bisa mengikuti ujian nasional (UN).

"Hanya, bedanya, anak normal mengerjakan soal dalam waktu setengah jam, sementara anak berkebutuhan khusus perlu waktu 45 menit sampai 1 jam," papar Vitri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com