Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PENDIDIKAN

Penyelenggaraan RSBI Banyak Terkendala

Kompas.com - 12/10/2010, 14:20 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional atau RSBI SD, SMP, SMA/SMK di DI Yogyakarta mengalami banyak hambatan sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana pendukung. Sebagian besar guru RSBI belum memenuhi kriteria berpendidikan minimal S2.

"SDM guru jauh dari standar. Kami mengusulkan guru-guru bisa menempuh S2 secara bertahap," ujar Kepala Bidang Perencanaan dan Standardisasi, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Baskara Aji, Senin (11/10).

Data Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY menunjukan, terdapat 1.697 RSBI. Dari 1.848 guru di 43 RSB tingkat SD, SMP, SMA/SMA, hanya 151 berlatar pendidikan S2. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 78 Tahun 2009, guru tingkat SD minimal harus ada 10 persen guru berijazah S2, di tingkat SMP 20 persen, dan tingkat SMA/SMK minimal 30 persen.

Menurut Aji, pengiriman serentak guru-guru sekolah RSBI belajar ke jenjang S2 tidak memungkinkan karena mengganggu proses belajar- mengajar. Selain itu, anggaran DIY juga terbatas. "Target kami tiga tahun ke depan sudah sesuai syarat. Prioritas pengembangan saat ini peningkatan kualitas SDM, pemenuhan sarana laboratorium, dan peningkatan standar proses," ujar Aji.

Kepala SMPN 1 Galur, Kulon Progo, Edi Suwarno menuturkan, meski SMPN 1 Galur ditetapkan RSBI, saat ini hanya 2 guru berkualifikasi S2 dari 35 guru. "Mestinya minimal 7-8 guru," katanya. Kepala SMKN 2 Wates, Kulon Progo, Mujiono mengatakan, sebanyak 18 guru dari 32 guru saat ini menempuh S2 atas biaya sendiri. Di SMKN 2 Wates yang juga RSBI hanya satu guru lulusan S2.

Menurut Mujiono, kemampuan berbahasa Inggris guru-guru mata pelajaran lemah, demikian juga siswa-siswi. Padahal, pembelajaran seharusnya berbahasa Inggris. "Pelajaran Sains dan Matematika disampaikan bilingual, tetapi lebih banyak bahasa Indonesia," katanya.

Ia mengakui, dengan ditetapkan sebagai RSBI, beban siswa maupun guru lebih berat. Pihaknya mengadopsi silabus Cambridge untuk Sains, Matematika, dan IPA. "Tak banyak siswa berminat mendapat sertifikat internasional Cambridge," katanya.

Baru 60 persen guru mempraktikkan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, tetapi belum berbasis internet.

Seharusnya, tiap ruang dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK, tetapi hingga kini baru terpenuhi 30 persen. "Sarana pembelajaran digital belum memadai," katanya. (RWN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com