Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tata Ruang Mentawai Harus Diubah

Kompas.com - 19/11/2010, 04:43 WIB

Jakarta, Kompas - Rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana tsunami Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, harus mencakup penataan ulang pemanfaatan ruang. Penataan ulang harus terintegrasi dengan adaptasi risiko tsunami dan memperhitungkan kebutuhan lingkungan serta infrastruktur penanganan bencana.

Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Arief Yuwono menyatakan, KLH telah mengkaji adaptasi yang dibutuhkan untuk menurunkan risiko tsunami. Hasil kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) itu akan dirampungkan pekan depan untuk direkomendasikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

”Butuh penataan ulang pemanfaatan ruang di Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengintegrasikan adaptasi risiko tsunami, aspek sosial-ekonomi masyarakat adat, sekaligus mengintegrasikan daya dukung lingkungan hidup. Tim KLH sudah dua kali ke Pagai Selatan dan Pagai Utara untuk mengumpulkan data,” kata Arief saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa (16/11).

Pemerintah berencana merelokasi warga dari 24 dusun yang diterjang tsunami 25 Oktober. ”Ini agak sulit karena kondisi sosial-ekonomi 24 dusun itu berbeda-beda. Ada yang berkebun, ada yang mencari ikan. Karena itu, kami mengkaji daya dukung ekologis tiap lokasi relokasi agar relokasi itu berhasil,” kata Arief.

Warga Dusun Guluk-guluk, Desa Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara, Morti Saleleubaja (36), menyatakan, akan sulit menghilangkan ketergantungan warga kepada dusun asalnya.

”Seperti warga Dusun Guluk-guluk, memiliki kebun cengkeh dan kelapa di Gung-gung. Bisa saja kami direlokasi ke dataran tinggi. Namun, ketika musim panen cengkeh tiba, para petani akan memetik cengkeh di bukit, lalu menjemurnya di pantai, tinggal tiga-lima pekan di pantai,” kata Saleleubaja.

Ia mengaku pesimistis warga bisa direlokasi ke tempat yang jauh dari dusun asalnya. ”Rumah baru bisa dibangun, tetapi kebun tidak bisa dipindah,” katanya.

Arief mengakui, penataan di Mentawai rumit karena kompleksitas masalah hukum adat tanah ulayat, tingginya risiko gempa dan tsunami, serta pola permukiman warga yang terpencar. ”Karena itu, kami memasukkan kearifan lokal,” katanya.

Ia mengakui, konsesi hak pengusahaan hutan di pulau kecil, seperti Pagai Selatan, Pagai Utara, Sipora, dan Siberut, telah membatasi peluang penataan ulang pemanfaatan ruang.

”Dibutuhkan evaluasi pada konsesi HPH di pulau kecil yang berisiko tsunami. Kami akan memasukkan pertimbangan KLH ke Kementerian Kehutanan yang mengevaluasi perpanjangan izin HPH,” kata Arief. (ROW)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com