Oleh Waras Kamdi
KOMPAS.com — Fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam-Jabatan lewat portofolio kian menguak apa yang sesungguhnya telah jadi rahasia umum. Terungkapnya kasus plagiasi 1.700 guru di Riau menunjukkan sebagian kecil dari kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru.
Banyak masyarakat yang merisaukan aneka pelanggaran itu, tetapi program sertifikasi terus saja melaju atas nama pemenuhan amanat peraturan perundang-undangan. Kerisauan juga berkembang di kalangan pimpinan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), terutama yang diserahi tugas melaksanakan sertifikasi tersebut.
Dalam lima tahun terakhir (2006-2009), lebih dari 500.000 guru telah diberi sertifikat oleh LPTK yang ditunjuk pemerintah (Kompas, 1/11/2010). Namun, hingga detik ini belum ada kabar menggembirakan adanya peningkatan kinerja guru bersertifikat pendidik itu.
Malahan, sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok profesional guru itu sendiri. Publik hanya tahu guru-guru bersertifikat itu buah karya LPTK. Ketika mereka gagal mewujudkan impian publik akan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air, LPTK-lah yang pertama akan ditagih akuntabilitasnya.
Ini sungguh tagihan yang amat berat bagi LPTK yang terlibat dalam prosesi sertifikasi guru meskipun sesungguhnya sejak awal sejumlah pimpinan LPTK skeptis mengenai sertifikasi massal itu akan membuahkan hasil seperti diidealkan, yakni peningkatan mutu pendidikan.
Alih-alih menuai kemaslahatan, kita lebih banyak menuai kemudaratan. Angka
Rp 60 triliun bukan angka kecil untuk peningkatan guru (Kompas, 1/11/2010).
Potensi ”GiGo”
Jauh lebih penting daripada soal pelanggaran adalah menyempurnakan perangkat dan sistem sertifikasi sungguh perlu dilakukan. Prosesi uji kompetensi yang dilakukan empat tahun terakhir banyak mengandung kelemahan, terutama instrumen dan teknik pengumpulan data. Instrumen penilaian yang menggunakan ukuran persepsional sangat berpotensi menghasilkan data dan informasi yang keliru.
Demikian pula teknik penilaian yang asal menelurkan angka juga berpotensi menghasilkan data penilaian yang keliru. Instrumen penilaian yang mengandalkan persepsi penilai, seperti pada penilaian kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional yang dipercayakan kepada kepala sekolah dan (pengawas), sangat sulit dipercaya dapat menghasilkan data valid.