Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Khawatir, Kecurangan UN Kian Sistematis

Kompas.com - 14/12/2010, 15:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menjadikan ujian nasional (UN) 2011 sebagai acuan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dinilai tidak tepat, selain juga ditentang karena dijadikan bobot terbesar penentu kelulusan peserta didik. Wacana yang datang dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh untuk mengupayakan pelaksanaan UN dan menjadikannya sebagai acuan masuk PTN itu sampai kini masih menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

"Melihat fakta di lapangan pelaksanaan UN selama ini bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa terdapat banyak kekurangan di hampir seluruh daerah. Maraknya kecurangan UN disebabkan pendewaaan UN yang menjadi penentu kelulusan," tegas Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Slamet Nur Achmad Effendy, di Kantor PP Muhammadiyah, Selasa (14/12/2010).

Tak terbayangkan, kata Slamet, ketika UN juga menjadi alat seleksi masuk PTN, kecurangan tersebut kian sistematis terjadi. Sementara itu, jika problema pada permasalahan tersebut belum juga teratasi, kebijakan UN sebagai acuan ke PTN akan sangat merugikan PTN itu sendiri.

"Karena PTN tersebut akan diisi oleh mahasiswa yang secara kompetensi belum tentu bagus dan hal itu disebabkan oleh hasil UN. Dengan hasil UN kemampuan calon mahasiswa belum tentu menggambarkan kemampuannya untuk masuk perguruan tinggi," kata Slamet.

Dia menambahkan, pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional, tidak boleh asal dalam membuat kebijakan UN sebagai acuan ke PTN tanpa kajian yang jelas. Jika itu tetap berjalan, kata dia, pada akhirnya hanya akan menyebabkan siswa yang dikorbankan.

"Agar dapat berjalan baik harus terpenuhi syarat kesinambungan antara kurikulum PTN sebagai bahan yang digunakan untuk membangun SNPMTN dengan kurikulum SMA sebagai bahan dalam membangun UN," papar Slamet.

Selama ini, lanjut Slamet, kurikulum PTN sangat bervariasi dari sisi program studinya dan belum dapat dianggap mampu melayani kurikulum SMA yang hanya terdiri dari beberapa jurusan saja. Lagipula, kurikulum SMA belum dipersiapkan untuk melayani kurikulum PTN.

"Dengan demikian, jika hendak membuat kebijakan UN sebagai acuan ke PTN pertama-tama harus intregasikan dulu kurikulum dan benahi UN agar benar-benar bebas kecurangan dan menjadi alat ukur prestasi yang dapat diandalkan," imbuhnya.

Slamet menambahkan, selama UN masih diwarnai kecurangan yang bahkan dilakukan oleh oknum guru, orang tua, bahkan kepala sekolah, pemikiran mengintegrasikan UN dan SNMPTN sebaiknya ditunda. Di sisi lain, perbedaan kualitas setiap sekolah dan daerah ini juga menjadi perbedaan yang sangat tajam dan perlu pembenahan. 

Diberitakan sebelumnya, Komisi X DPR RI dalam rapat kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Senin (13/12/2010), menyepakati, dalam formula baru kelulusan siswa dari satuan pendidikan harus mengakomodasi nilai rapor, ujian sekolah, dan ujian nasional (UN). Bahkan, mata pelajaran lain yang tidak masuk UN juga diminta untuk dipakai sebagai pertimbangan kelulusan.

Ketua Panitia Kerja UN Komisi X DPR Rully Chairul Azwar mengatakan, pada kelulusan siswa mulai tahun 2011 jangan lagi dengan penilaian yang saling menjatuhkan. Kegagalan siswa lulus dari sekolah selama ini banyak didominasi hasil UN yang tidak mencapai nilai minimal.

Sementara itu, meski bersedia menerima masukan Komisi X DPR, Mendiknas Mohammad Nuh masih tetap ingin supaya dalam penghitungan nilai akhir siswa yang menjadi acuan standar kelulusan tetap memberi bobot yang lebih besar pada hasil UN. Nuh beralasan, nilai UN perlu untuk mengontrol nilai sekolah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com