Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Sini, Peneliti Makan Buah Simalakama

Kompas.com - 08/04/2011, 14:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemahaman dan ketertarikan masyarakat terhadap ilmu sains terus tumbuh. Namun, lemahnya perhatian dan apresiasi yang diberikan pemerintah kepada para peneliti menyebabkan semakin maraknya praktik pembajakan ilmuwan.

Peneliti di Pusat Penelitian (P2) Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perdamean Sebayang, mengatakan kurangnya apresiasi yang diberikan pemerintah membuat peneliti saat ini lebih memilih pergi ke luar negeri. Standar gaji peneliti di kawasan Asia bisa mencapai Rp 40 juta per bulan atau lebih.

"Pemerintah kurang mengapresiasi kinerja peneliti atau mungkin belum mampu," kata Perdamean, Jumat (8/4/2011), di Unika Atma Jaya, Jakarta.

Perdamean mengatakan, perlakukan semacam itu jelas tidak mendidik. Saat ini, cara harus dilakukan pemerintah adalah merangsang peneliti untuk tidak bekerja di luar negeri dengan memberikan apresiasi yang lebih sesuai.

"Terus rangsang, hal itu supaya para peneliti loyal. Kita juga akan bisa maju," ujarnya.

Selain itu, Perdamean sangat menyayangkan kurangnya lapangan pekerjaan untuk para peneliti. Akibatnya para peneliti memilih menerima tawaran kerja di luar negeri. Padahal, khususnya untuk sains, generasi muda saat ini bukan hanya mampu bersaing, tetapi juga layak menjadi leader.

"Mesti ada kemauan bersama, kemauan besar. Ini tantangan kita bersama, karena Indonesia sangat potensial," kata Perdamean.

Sementara dalam kesempatan terpisah, Edi Tri Astuti, peneliti yang menjabat Kepala Sub-Bidang Kerjasama LIPI mengungkapkan, menjadi seorang peneliti itu seperti memakan buah simalakama. Di satu sisi harus mempertahankan urusan "perut", di sisi yang lain iming-iming tawaran gaji besar di luar negeri.

"Antara memilih yang lebih baik atau mempertahankan moral," ujar Astuti.

Selain itu, kata Astuti, terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan penelitian juga menjadi salah satu penyebab lambatnya penelitian di Indonesia. Keterbatasan itu terutama di bidang teknologi tinggi.

"Bagaimana kita mau cepat melakukan penelitian jika semuanya terbatas," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com