Lembata, Kompas -
Seperti di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sekitar 27 persen anak- anak sekolah dasar teridentifikasi berkebutuhan khusus. Karena ketidaktahuan guru, para siswa tersebut mendapat perlakuan sama dalam pembelajaran sehingga prestasi mereka tertinggal dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Bonefantura Solo, Kepala SD Inpres Lewoleba I, Selasa (3/5), mengatakan, selama ini para guru tidak pernah dibekali dengan kemampuan untuk mengindentifikasi setiap anak. Baru tahun lalu para guru mendapat pengetahuan soal anak-anak berkebutuhan khusus.
Menurut Bonefantura, anak-anak berkebutuhan khusus yang umumnya dijumpai adalah yang lamban belajar.
Alex T Making, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga wakil Kabupaten Lembata, mengatakan, di Lembata hanya ada satu sekolah luar biasa (SLB) dan belum ada guru khusus.
Padahal, dari survei yang dilakukan Dinas Pendidikan bersama Plan International Program Unit Lembata, serta Universitas Negeri Jakarta, cukup banyak anak-anak berkebutuhan khusus. ”Karena itu, kami akhirnya berencana untuk membuat sekolah reguler menjadi sekolah inklusi," kata Alex.
M Thanmrin, Program Unit Manager Plan Indonesia Unit Lembata, mengatakan, daerah ini perlu mengembangkan sekolah inklusi. Sebagai tahap awal, 10 dari 173 SD yang mewakili tiap-tiap kecamatan dijadikan sekolah percontohan sekolah inklusi. Plan Indonesia mendampingi dalam pelatihan dan penyiapan sekolah untuk menjadi sekolah inklusi.