Cornelius Helmy
”Tanpa pendidikan, masyarakat di mana pun pasti akan tetap terpuruk, tidak terkecuali di Desa Sundawenang. Saya sendiri, dulu, harus menempuh perjalanan jauh dari rumah melintasi bukit dan jalan rusak hanya untuk bisa bersekolah,” cerita Ruslan, lulusan Sekolah Tinggi Teknik (STT) Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya.
Kondisi pendidikan di Desa Sundawenang memang berbanding lurus dengan kesejahteraan ekonomi dan infrastrukturnya. Sampai 2003, rata-rata warga Desa Sundawenang yang lulus tingkat sekolah dasar (SD) dan melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP) hanya tiga orang dari sekitar 20 orang.
Sisa murid lulusan SD tersebut kemudian memilih bekerja sebagai buruh tani, buruh kasar, atau malah menikah. Akibatnya, sumber daya manusia dari desa yang ”hanya” berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat kota Kabupaten Tasikmalaya ini tercatat sebagai salah satu daerah tertinggal.
Secara administratif, Desa Sundawenang berlokasi di kawasan Kecamatan Salawu, ujung barat perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dengan Garut. Sampai sekitar pertengahan Juni 2011, Desa Sundawenang masih terpuruk akibat buruknya kualitas infrastruktur di kawasan tersebut.
Jalan di daerah itu, yang lebarnya sekitar 3 meter, kondisinya rusak berat. Di samping itu, kontur jalan turun naik dan berkelok-kelok. Meski begitu, jalan ini menjadi satu-satunya penghubung warga dengan dunia luar. Kondisi yang demikian membuat mereka kesulitan mengembangkan kualitas hidup.
Fakta yang menyesakkan dada itu membuat Ruslan merasa bertanggung jawab untuk ikut serta memperbaiki kondisi kampungnya. Dia yakin, minimnya sarana pendidikan telah membuat warga Desa Sundawenang terpuruk.
Ruslan kemudian bertekad mendirikan sekolah formal setingkat SMP dan SMK bagi masa depan anak-anak Desa Sundawenang.