JAKARTA, KOMPAS.com — Para pelajar yang berhasil menorehkan prestasi di kancah olimpiade internasional seyogianya berhak mendapatkan beasiswa unggulan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Pemerintah Indonesia. Nyatanya, pelajar-pelajar berprestasi itu mengeluhkan lambannya proses pencairan beasiswa unggulan tersebut.
Lambannya pencairan beasiswa membuat para siswa berprestasi khawatir dan bingung saat hendak melanjutkan kuliah di luar negeri. Pasalnya, mereka kerap terbentur dengan situasi yang berbeda, antara menunggu pencairan beasiswa yang selalu telat atau mengikatkan diri pada suatu kontrak studi dengan universitas di luar negeri.
"Beasiswa yang dijanjikan pemerintah keluarnya selalu terlambat. Saya mendengar itu dari teman-teman yang lebih dulu mendapatkan beasiswa di luar negeri. Beasiswa kita kalah cepat cairnya dari kontrak yang ditawarkan oleh universitas di luar negeri," kata peraih medali perunggu di Olimpiade Kimia 2009, Stephen Haniel Yuwono, Selasa (5/7/2011) malam, di Jakarta.
Siswa yang tahun ini lulus dari SMAN 1 Purwokerto itu menceritakan alasannya mengikat kontrak dengan National University of Singapore (NUS). Menurut dia, universitas di Singapura lebih proaktif mengundang siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan kuliah di Singapura melalui surat yang dikirim ke sekolah. Umumnya, para siswa berprestasi yang mengikat kontrak dengan universitas di luar negeri tidak berminat menunggu beasiswa dari Pemerintah Indonesia yang baru cair setelah semester pertama selesai, atau baru bisa melanjutkan kuliah pada tahun berikutnya.
"Beasiswa di Singapura memang kalah besar dari beasiswa yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia. Dari Singapura saya dapat uang saku 5.000 dollar Singapura untuk biaya hidup selama satu tahun, padahal estimasinya saya perlu 10.000 dollar Singapura untuk satu tahun. Saya harus nombok (menutupi). Namun, tak masalah karena semua sudah diurus. Kami tidak dibebankan dengan biaya kuliah dan diberi uang saku untuk biaya hidup," tuturnya.
Sejatinya, Stephen dan pelajar Indonesia yang lainnya tidak ingin terikat kontrak dengan universitas mana pun di luar negeri. Mereka sedih dan kecewa jika dicap berkhianat karena terlibat dalam kontrak tersebut.
"Kami kecewa karena dianggap mengkhianati bangsa. Kuliah di luar negeri tidak mau pulang karena terikat kontrak beasiswa yang mengharuskan kami tinggal di luar negeri untuk beberapa waktu tertentu. Jangan salahkan kami kalau harus tidak kembali karena ada ikatan itu," ujarnya.
Sementara itu, Anugerah Erlaut, pelajar Indonesia lainnya yang telah lebih dulu melanjutkan studi di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, melalui beasiswa unggulan yang diberikan Pemerintah Indonesia, mengungkapkan hal senada. Mantan peraih medali emas di Olimpiade Biologi 2008 ini mengatakan, proses pencairan beasiswa unggulan dari Pemerintah Indonesia terlalu lama dan sangat terlambat. Beasiswa unggulan baru cair dua sampai tiga bulan setelah batas akhir pembayaran kuliah. Keterlambatan pencairan itulah yang membuat dirinya beberapa kali terpaksa meminjam uang dari bank di Singapura.
"Misalnya batas akhir bayar kuliah bulan September, tetapi beasiswa paling cepat baru bisa dicairkan pada Oktober. Malah ada teman-teman saya yang juga peraih medali olimpiade, tetapi belum mendapatkan beasiswa. Teman lainnya yang juga mantan peraih medali kimia hanya mendapatkan setengah dari beasiswa penuh yang dijanjikan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.