Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Layanan Pendidikan Inklusi Tidak Merata

Kompas.com - 22/07/2011, 08:44 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Mudjito mengatakan, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak merata dan hanya terkonsentrasi di beberapa daerah. Hal ini terjadi karena minimnya keberpihakan para pembuat kebijakan pada isu anak berkebutuhan khusus (ABK). Untuk itu, berbagai daerah didorong membuat peraturan daerah atau peraturan gubernur khusus tentang pendidikan inklusi.

"Sekolah inklusi ini kebutuhan. Sayangnya, masalah ABK termarjinalisasikan. Selain tidak ada payung hukum, alokasi anggarannya juga minim," kata Mudjito, Kamis (21/7/2011), di Jakarta.

Sejauh ini, jelasnya, baru Aceh, DKI Jakarta, dan Surabaya yang memiliki peraturan gubernur mengenai pendidikan inklusi. Rencananya, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan akan menyusul. Peraturan daerah ini, menurut Mudjito penting karena bisa menjadi alat tawar bagi pemerintah daerah ketika berhadapan dengan DPRD.

"Setiap daerah jadi bisa punya landasan untuk mengangkat guru dan akan bisa mengalokasikan anggaran dalam APBD," katanya.

Menurut data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tahun 2011, terdapat 356.192 ABK dan hanya 85.645 ABK yang mendapat layanan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), sekolah dasar luar biasa (SDLB), dan sekolah terpadu. Sementara, data Kemdiknas tahun 2010 menunjukkan terdapat 15.144 ABK yang masuk di 1.500 sekolah inklusi dari jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama.

"Anak-anak yang normal dan ABK harus dididik bersama dalam lingkungan yang sama seperti di sekolah inklusi supaya tumbuh toleransi. Anak-anak akan saling menghargai perbedaan," ujar Mudjito.

Belum adanya payung hukum tentang pendidikan inklusi itu menyebabkan minimnya sekolah yang membuka diri pada ABK. Padahalm setiap satuan pendidikan pada dasarnya bisa menyelenggarakan pendidikan inklusi. Namun tetap harus ada persyaratan seperti sarana prasarana bagi ABK dan guru pembimbing khusus. Jika sekolah tidak memiliki fasilitas pendidikan inklusi, bisa dibicarakan dengan dinas pendidikan setempat.

"Jangan langsung menolak. Di dunia pendidikan tidak boleh ada diskriminasi," kata Mudjito.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh meminta sekolah umum untuk tidak menolak ABK, karena ABK juga memiliki potensi dan kecerdasan. Untuk mendorong pendidikan inklusi, Nuh menjanjikan penambahan insentif bagi guru pembimbing khusus dan biaya operasional bagi sekolah yang menangani ABK.

Namun menurut Mudjito anggaran yang tersedia hanya sekitar Rp 330 miliar per tahun dari total anggaran Kemdiknas yang berjumlah sekitar Rp 55 triliun. Anggaran itu sebagian besar dialokasikan untuk pemberian beasiswa dan block grant. Khusus untuk anak autis disediakan beasiswa Rp 2,5 juta per tahun untuk 6.000 anak autis yang terdaftar di sekolah. Selain itu ada pula beasiswa Rp 750 ribu per tahun bagi ABK.

"Untuk sekolah yang menangani ABK seharusnya minimal diberikan Rp 50 juta untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya," kata Mudjito.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com