Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rektor UI dan Presiden RI

Kompas.com - 10/09/2011, 12:56 WIB

Oleh Effendi Gazali

Isinya menyebut tidak kurang 33 nama dari tujuh fakultas sebagai produser, sutradara, aktor utama, dan aktor tambahan skenario penggulingan. Hampir semua elemen sivitas akademika ada di situ: anggota Majelis Wali Amanah (MWA), guru besar, dekan, senat akademik, dan ikatan alumni (Iluni).

Jika dokumen itu benar, mengapa ada begitu banyak orang mau berbuat seperti itu? Apakah nama-nama sekaliber Emil Salim, Martani Huseini, Pratiwi Sudarmono, Harkristuti Harkrisnowo, Rhenald Kasali, Hikmahanto Juwana, Firmanzah, T Basarudin, Ratna Sitompul, Donny Gahral Adian, dan Ade Armando "mempersoalkan" rektor tanpa alasan logis? Hanya semata iri, iseng, atau bahkan semua ingin menggulingkan dan berhasrat menjadi rektor seperti isi dokumen tersebut?

Dengan gaya sensasi "bom buku", tiba-tiba sebuah dokumen diantar ke Kelompok Kerja Wartawan Depok. Judulnya, "Dokumen Rahasia, Rekaman Percakapan dari Skenario Besar Penggulingan Rektor Universitas Indonesia". Masuk ke masalah isi, ternyata utamanya adalah "sadapan" pesan singkat (SMS) dari telepon beberapa nama di atas. Selain melanggar hukum, sebagian isinya dipelintir dan diletakkan dalam konteks yang keliru.

Selain sadap-menyadap bergaya intelijen ini, sesungguhnya masih ada aneka telepon dan SMS intimidatif pada beberapa nama.

Forum resmi

Dokumen itu pun tidak memuat apa yang terjadi dalam forum resmi. Sebagai contoh, dialog langsung Iluni FISIP UI dengan Rektor UI atau forum terbuka antar-elemen sivitas akademika tanggal 5 September. Konteks pertanyaan kritis dan orasi dihilangkan sama sekali. Yang ada hanya kebenaran tunggal si penulis dokumen rahasia. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa intelijen dan gaya intimidasi masuk keurusan kepemimpinan sebuah universitas.

Jawabannya barangkali soal doktor honoris causa dari Rektor UI untuk Raja Arab Saudi. Jelas, sebagian besar warga UI terluka dengan pemberian yang umumnya mereka ketahui dari media itu. Kalau tidak ada "bocoran" berita dari arabnews.com, bisa jadi tak ada media di Indonesia dan warga UI tahu.

Lepas dari perasaan tersebut, hampir semua nama yang dituduh justru sadar bahwa gelar itu relatif sulit dicabut. Ini terutama karena kesalahan utamanya bukan pada penerima, melainkan pada pemberi dan proses tata kelola yang bermasalah.

Dokumen juga tidak menyebut peran mediator DipoAlam. Padahal, justru nama Sekretaris Kabinet ini yang menimbulkan tanda tanya soal kemungkinan intervensi pemerintah!

Seharusnya, sikap pemerintah jelas dalam kasus doktor honoris causa ini. Ketika Ruyati, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, dieksekusi, Presiden SBY membuat konferensi pers (23/6/2011) dan menyatakan telah menulis surat keprihatinan kepada Raja Arab Saudi. Isinya, "protes keras Kepala Negara RI atas eksekusi almarhumah Saudari Ruyati yang menabrak kelaziman norma dan tata krama internasional dengan tidak memberitahu pihak Indonesia".

Lalu, bagaimana mungkin, jika Presiden marah, Rektor UI dan utusan khusus presiden untuk Timur Tengah malah memberi Raja Arab Saudi gelar kehormatan? Apakah Presiden SBY cuma pura-pura marah demi pencitraan?

Lalu, melalui nama-nama pejabat negara di atas, dia meminta Rektor UI memberikan penghargaan untuk "berdamai"?

Semoga tidak. Karena jika benar, sandiwara pencitraan itu akan makin membuat banyak pihak terluka.

Tuntaskan segera

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com