Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Menteri Pendidikan?

Kompas.com - 20/10/2011, 02:10 WIB

Agus Suwignyo

Kementerian Pendidikan Nasional berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan satu menteri dan dua wakil, masing-masing wakil bidang pendidikan dan wakil bidang kebudayaan.

Meski penyatuan kembali bidang pendidikan dengan kebudayaan layak disambut, penambahan posisi wakil menteri mengingatkan kita pada nomenklatur tahun 1961.

Ketika itu, Presiden Soekarno membagi Kementerian Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan (PPK) menjadi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) serta Departemen Pendidikan Tinggi dan Pengetahuan (PTP). Indonesia memiliki tiga menteri pendidikan dalam satu kabinet. Dampaknya amat buruk bagi praktik penyelenggaraan pendidikan.

Ada baiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belajar dari pemerintahan masa lalu. Tanpa visi kepemimpinan yang jelas, penambahan (wakil) menteri pendidikan alih-alih menyelesaikan aneka persoalan secara inte- gral, sebaliknya justru berpotensi membuat permasalahan pendidikan di lapangan semakin ruwet akibat terlalu banyak pemegang kendali kebijakan.

Too many cooks spoil the soup. Terlalu banyak juru masak merusak rasa sup, begitu nyanyian Mick Jagger dan John Lennon.

Pengalaman tahun 1961 menunjukkan, keberadaan tiga pejabat tinggi sekaligus di Kementerian Pendidikan membuka pintu bagi kontestasi kekuasaan yang, dalam konteks kala itu, bersumber pada perbedaan ideologi.

Menteri Departemen PDK dan Menteri Koordinator PPK yang didukung PKI serta menteri Departemen PTP yang dikendalikan tentara Angkatan Darat berebut pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, lembaga Kementerian Pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan organisasi profesi guru semua terbelah. Soekarno tampil bak pahlawan pemersatu dalam semangat Demokrasi Terpimpin.

Perpecahan akibat perbedaan ideologi seperti dalam tahun 1960-an kecil kemungkinan terjadi lagi sekarang. Namun, desain struktur menteri membawahkan dua wakil menteri mirip desain nomenklatur 1960-an ketika presiden semakin terjauhkan dari dampak langsung dan tuntutan untuk bertanggung jawab atas kesalahan kebijakan di tingkat bawah.

Selain itu, pagu anggaran pendidikan yang lebih dari Rp 200 triliun per tahun—ditambah absennya arah dasar pembangunan pendidikan—bisa menjadi pintu perebutan pengaruh dan disharmoni kerja yang dampaknya bagi rakyat sama serius dengan perpecahan berbasis ideologi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com