Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pak Guru Edi di Pedalaman Riau

Kompas.com - 25/11/2011, 08:44 WIB
Sabrina Asril

Penulis

PELALAWAN, KOMPAS.com - Usia 23 tahun merupakan usia terbilang muda bagi seorang remaja untuk memutuskan hidup mandiri. Apalagi, memiliki keberanian untuk mendirikan sekolah di sebuah lokasi transmigran yang terletak di kawasan pelosok yang belum terjamah. Dialah Edi Mohammad Muhtar, yang pada tahun 1991, dalam usia remaja, nekat meninggalkan tanah kelahirannya di Cianjur, Jawa Barat.

Edi mengadu nasib ke Kampar (sekarang Pelalawan), Riau. Ia menetap di sebuah kecamatan terpencil, Ukui, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Pelalawan. Untuk mencapai Ukui dari Pekanbaru, diperlukan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil atau motor. Sama sekali tidak ada angkutan umum.

Medan yang harus dilalui menuju Ukui pun terbilang berat. Kawasan itu terletak di tengah perkebunan kelapa sawit. Jalan berliku mendaki bukit dan hanya beralaskan tanah sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Ukui.

Edi mengisahkan, selesai menamatkan pendidikan guru agama (PGA) pada tahun 1988, dirinya sempat mengajar sebagai tenaga honorer di Cianjur. Saat ada program transmigrasi pemerintah pada tahun 1991, Edi meninggalkan keluarganya yang tinggal di kota itu menuju Riau. Pada waktu itu, usia Edi 23 tahun.

Dengan bantuan petugas transmigrasi, Edi pun akhirnya mencapai Ukui bersama ratusan transmigran lain dari Pulau Jawa. Sesampainya di kota kecil itu, Edi menyimpan rasa kaget luar biasa, saat melihat wilayah yang akan didiaminya.

"Wah dulu ini sebelum ada sawit, hutan semua. Pohon-pohon tinggi, masih ada harimau, macan, dan gajah yang bisa dilihat dekat rumah," kata Edi, Kamis (24/11/2011), saat dijumpai Kompas.com, di SDN 012 Silikuan Hulu, Riau.

Seiring dengan perjalanan waktu, kawasan Ukui mulai berubah "wajah". Rumah-rumah tinggal mulai dibangun, dengan perkebunan sawit yang luasnya mencapai ratusan ribu hektar. Binatang-binatang liar pun mulai menyingkir.

Membangun pendidikan di Ukui

Ketika itu, Edi tinggal bersama orangtua angkatnya yang sudah lebih dulu mengikuti program transmigrasi di Ukui. Saat awal menginjakkan kaki di sana, Edi sempat luntang lantung tanpa pekerjaan. Pasalnya, mayoritas penduduk Ukui adalah petani sawit dan menjadi petani sawit bukanlah hasrat Edi.

"Akhirnya, karena latar belakang saya guru, saya waktu itu sudah ingin sekali mengajar. Tapi tidak ada sekolah," katanya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com