Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Hidup di Tapal Batas

Kompas.com - 09/02/2012, 10:36 WIB

Oleh A Budi Kurniawan

Di atas tumpukan ribuan ton sampah Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Stevanus Sani Alexander (17) bisa merasakan nikmatnya nasi sayur berlauk kerupuk. Tumpukan sampah bau bercampur lalat, belatung, dan air lindi tak lagi menjijikkan.

Di titik itu Sani justru bisa merasakan betapa berharganya nilai perjuangan hidup. Dengan hanya berbekal sekantong tas keresek berisi tiga setel baju, Sani bersama 39 rekannya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De Britto, Yogyakarta, diberangkatkan menggunakan bus ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang untuk menjalani live in sosial selama seminggu, 24-30 Januari.

Sani dan teman sekelompoknya merupakan bagian dari 251 siswa SMA Kolese De Britto yang juga diterjunkan ke tempat-tempat asing, menantang, dan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Di TPA terbesar itu, mereka harus berbaur dan hidup bersama pemulung. Kenyamanan hidup di rumah yang telah dialami belasan tahun hilang seketika. Mereka harus larut dalam atmosfer hidup keras dan terkadang kejam.

”Di sana kami membantu pemulung mengumpulkan plastik. Satu kilogram plastik kotor dijual Rp 400, plastik bersih Rp 700. Petugas keamanan sempat melarang, memarahi kami, karena tak punya izin,” ucap Sani, sekembalinya ke Yogyakarta.

Di sana, mereka tidak bisa bersikap ”anak mama” karena harus mencari makan sendiri dari hasil kerjanya membantu pemulung. ”Saya bersama beberapa teman untuk mencari tambahan uang, tetapi hanya dapat Rp 1.000, selebihnya saya ditolak di mana-mana, rasanya sakit sekali. Ternyata, mencari uang tidak mudah,” ujarnya.

Pengalaman serupa dialami Cornelius Rikimadewa (17) yang mengalami secara langsung bagaimana para pemulung harus berjibaku dengan maut, bersaing mengais-mengais sampah di antara mesin ekskavator yang setiap waktu bisa menghantam tubuh mereka. Tak hanya itu, sesekali para pemulung juga bernasib sial tertancap tongkat gancu rekan-rekannya.

”Mencari uang tak hanya butuh keringat, tetapi kadang harus bertaruh nyawa,” ucap Riki.

Jauh di kolong Tol Teluk Gong, Jakarta Utara, Elang Sakra Abimantra (17) juga mengalami pengalaman yang jauh dari kehidupan kesehariannya. Setiap hari, ia harus berjuang jadi pemulung dan memilah sampah-sampah medis dari rumah sakit, mulai dari jarum suntik, botol infus, hingga kantong darah yang telah dikerubuti belatung karena membusuk.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com