YOGYAKARTA, KOMPAS -
Demikian dikatakan Direktur Reform Institute Yudi Latif dalam Sarasehan Nasional ”Indonesia Berkarakter Enyahkan Kebangkrutan” dalam rangka
Sarasehan yang dipandu Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Lukas Suryanto Ispandriarno tersebut menghadirkan pembicara Yudi Latif, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace Prof Musdah Mulia, dan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi.
Menurut Yudi, persepsi moral dalam masyarakat sering kali diidentikkan dengan moral keagamaan semata. Padahal, saat negara Indonesia didirikan, yang menjadi basis moral kehidupan bukan hanya agama, melainkan juga kearifan lokal, budaya, kemanusiaan, dan sebagainya.
”Celakanya, pemahaman masyarakat terhadap agama kadang cenderung bersifat legal formal, sekadar melakukan simbol-simbol atau ritual keagamaan saja daripada esensi ajarannya,” ujarnya.
Musdah mengatakan, di Indonesia, tingkat kebencian masyarakat atas dasar agama dan suku menduduki peringkat paling tinggi. ”Banyak orang memakai simbol-simbol agama, tetapi tidak berperikemanusiaan. Padahal, intisari beragama adalah memanusiakan manusia. Nilai-nilai esensial agama ternyata belum menjadi bagian hidup,” kata Musdah.
Menyikapi persoalan tersebut, menurut Musdah, masyarakat perlu untuk menginternalisasikan dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara semestinya menjadi landasan spiritualitas bangsa Indonesia.
”Ketuhanan seharusnya menjadi landasan etik hidup bernegara, nilai-nilai kemanusiaan semestinya menjadi landasan, nilai persatuan menjadi warisan pendiri bangsa, nilai demokrasi menjadi acuan kehidupan berbangsa bernegara, serta nilai keadilan menjadi tujuan semua warga tanpa terkecuali. Nilai-nilai Pancasila ini harus direfleksikan dan diinternalisasikan lagi dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Yudi menambahkan, dalam konteks pendidikan karakter, yang diperlukan adalah proses radikalisasi Pancasila seperti yang pernah disebut Kuntowijoyo (2001). Radikalisasi yang dimaksud adalah radikalisasi untuk membuat Pancasila lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis, dan bersifat fungsional.
Menurut J Kristiadi, yang pertama-tama harus mendapat pendidikan karakter adalah para pemegang kekuasaan. Pasalnya, di situlah terdapat sumber produksi kekuasaan.
”Sekarang tingkat kepercayaan kita kepada pemerintah sedang merosot, negara tidak bisa kita harapkan, modal sosial kita rontok,” katanya.