KOMPAS.com - Tajuk rencana Kompas, 8 Februari lalu, jernih dan obyektif membeberkan masalah sebenarnya di balik ”Polemik Sekitar Jurnal Ilmiah”.
Kita tentu berharap langkah berani Dirjen Dikti dapat memperbaiki kesalahan masyarakat ilmu kita yang sangat mungkin telah menjadi penyebab ketertinggalan prestasi kita dibandingkan dengan negara tetangga. Namun, tulisan Franz Magnis-Suseno yang berdampingan dengan tajuk rencana tersebut dengan kesimpulan yang sangat berseberangan menggelitik hati saya untuk mempertanyakan hakikat seberkas makalah ilmiah yang jadi pokok soal. Saya khawatir hakikat ini telah dilupakan.
Hakikat makalah ilmiah
Pada hakikatnya, seberkas makalah ilmiah tak lebih dari sebuah laporan hasil salah satu kegiatan tridarma perguruan tinggi: penelitian dalam bentuk ringkas, tetapi padat dan mengikuti kaidah yang telah disepakati komunitas penelitian itu. Tentu jika ada pelaporan harus ada penerima dan pemeriksa laporan. Siapa lagi yang kompeten memeriksa laporan itu jika bukan kolega sejawat dan sebidang yang sangat paham makna hasil penelitian itu.
Karena laporan itu bersifat ilmiah, kebenaran di dalamnya harus dapat disanggah secara universal, menembus kungkungan negara, bahasa, bahkan budaya. Itulah tujuan publikasi makalah, terutama publikasi internasional. Hasil penelitian yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui semua anggota komunitas global sebagai temuan si pelapor jika tak ada lagi, atau paling sedikit minim, gugatan.
Makalah ilmiah sebagai laporan hasil penelitian kepada komunitas ilmiah sudah menjadi prosedur baku sejak lebih dari 100 tahun lalu. Boleh dibilang, proses ini telah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah, bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak, indeks-h, indeks-g, dan sebagainya yang bertujuan mengukur seberapa penting laporan ilmiah tadi.
Lazimnya para penyandang dana penelitian tak begitu paham detail hasil penelitian yang mereka danai. Mereka harus berkonsultasi dengan kolega sejawat peneliti. Cara paling praktis tentu saja melihat apakah hasil penelitian itu dapat ”menembus” pemeriksaan ketat kolega itu: berhasil diterbitkan di jurnal standar komunitasnya. Karena kebenarannya universal, komunitasnya harus global.
Jika penelitian didanai masyarakat, masyarakat yang relatif awam terhadap penelitian itu juga berhak bertanya apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Jika produk penelitian adalah barang jadi yang dapat langsung dilempar ke industri atau paten, pertanyaan tentang manfaat segera terjawab.
Namun, bagaimana halnya dengan produk berupa simulasi, metode, teori, pandangan filsafat, atau ideologi baru yang boleh jadi di negara ini hanya segelintir orang yang mengerti makna pentingnya? Jika hasil penelitian sudah dimuat di jurnal internasional, para juri jurnal itulah yang mengambil alih tugas menjawab pertanyaan ini.
Di dekat kota Osaka, Jepang, tersua fasilitas sinkrotron bernama SPRING8 yang dibangun dengan dana sekitar Rp 12 triliun dengan biaya operasional per tahun sekitar Rp 1 triliun. Siapa yang menanggung biaya ini kalau bukan Pemerintah Jepang dan pengguna fasilitas.