Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Mencerdaskan Kaum Jelata

Kompas.com - 11/03/2012, 08:59 WIB

 

KOMPAS.com - Anak-anak berusia 4-6 tahun belajar dengan gratis di Rumah Singgah Taman Indira di Bulakan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Kamis (1/3/2012).

Siapa peduli pada pendidikan bagi kaum jelata? Sejumlah warga mendedikasikan diri membangun sekolah gratis dengan pemikiran sederhana: ikhlas berbagi untuk yang papa.

Pasangan Fuady Munir (63) dan Sri Tjendani (62) sekitar awal tahun 2000 pernah menjebol tembok belakang rumah mereka di kawasan Jalan Maleo, Bintaro, Tangerang Selatan, hanya untuk memberi akses belajar kepada anak-anak kampung. Fuady Munir gerah melihat banyak anak kampung tidak bersekolah.

Sebagai orang yang pernah bekerja di British Council, Fuady memulai dengan mengajar bahasa Inggris. Istrinya, Sri Tjendani, yang aktif di kelompok pengajian mulai berpikir untuk merangkul lebih banyak anak. Berdirilah Yayasan Maleo dengan Sri sebagai ketua umum. Sejak 6 Agustus 2005, yayasan ini mendirikan SMP Terbuka Ibnu Sina, sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu.

Sri ingat, pada saat memasang spanduk pendaftaran sekolah gratis, seseorang datang dan mewakafkan 1.000 meter persegi tanahnya. Karena lokasinya yang jauh, donatur yang tak mau disebut namanya itu menjual tanah tersebut dan memberikan seluruh dananya kepada Yayasan Maleo. ”Hebatnya, tanah itu terjual hanya dalam seminggu,” tutur Sri dengan mata berkaca-kaca.

Di atas tanah wakaf itulah kini gedung permanen SMP Terbuka Ibnu Sina berdiri dan menampung 59 siswa. Sebagai sekolah gratis, Ibnu Sina pada awalnya babak belur. ”Tetapi, niat kita hanya menolong orang yang tidak mampu…,” ujar Ketua I Yayasan Maleo Astrida Daulay.

Cepi J Malik, Pembina Yayasan Maleo, mengatakan, semua tenaga pengajar di SMP Terbuka Ibnu Sina adalah relawan, tanpa dibayar. Meski begitu, mereka memiliki kualifikasi pendidikan terendah S-1, bahkan beberapa di antaranya S-2 dan S-3. Cepi sendiri, selain penyandang dana tetap, juga terjun sendiri mengajar anak-anak yang membutuhkan perhatian itu.

Tak kenal sosis

Liana Christanty (52) memilih laku dan jalan hidup serupa meski tinggal di Surabaya. Ceritanya berawal dari sosis. Ketika berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Liana bertemu anak-anak jalanan. Setelah berbicara, ia mengajak anak-anak itu ke rumahnya untuk sekadar makan. Kebetulan juru masak sedang membuat nasi goreng telur bertabur sosis. Anehnya, kata Liana, anak-anak jalanan itu tidak memakan sosis. ”Ternyata mereka bukan tidak suka, tetapi mereka belum pernah makan sosis, bahkan tidak tahu itu sosis,” tutur Liana.

Kejadian itu membekas di hati Liana. Ia lalu membuka rumahnya bagi anak-anak jalanan yang ingin sekadar makan. ”Rata-rata mereka loper koran dan pengamen,” katanya.

Karena mengetahui sebagian dari mereka buta huruf, Liana berinisiatif mendatangkan guru dan memberi mereka pelajaran. Aktivitas itu mendorong Liana memutuskan tidak lagi membantu kerja suaminya, ia fokus mengurus anak-anak jalanan. Tahun 2008 berdirilah Sekolah Pelita Permai di bawah Yayasan Kasih Pengharapan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com