Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karena Hati Kami Teriris

Kompas.com - 22/03/2012, 09:48 WIB

Bangku plastik warna-warni, perosotan, alat-alat peraga, dan sejumlah gambar hewan serta buah terlihat di bagian dinding lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Yayasan Al Hadiid, Kota Padang, Sumatera Barat. Pada papan pengumuman di luar tertempel beragam undangan dan permintaan untuk tampil dalam berbagai pentas dan acara, seperti lomba pergelaran busana serta pembacaan dongeng.

Sedikitnya 10 bocah laki-laki dan perempuan, Rabu (18/1) bercengkerama di dalam dua ruangan, yang masing-masing berukuran sekitar 3 meter x 3 meter. Anak-anak itu sebagian besar berasal dari keluarga nelayan. Ayah dan ibu mereka sibuk mencari penghasilan selama seharian.

Mereka diasuh tiga guru, Hotiah (34) yang juga sebagai kepala sekolah serta Eni Purniwati (33) dan Warnisari (22). Hari itu, sebagaimana hari-hari lain, mereka belajar sejak pukul 08.00 hingga pukul 10.30.

Apa yang tidak seperti hari-hari lain adalah jumlah murid yang belajar. Jika hari itu sekitar 10 orang bisa mengikuti pelajaran, hari berikutnya belum tentu.

”Kalau ada hujan dan badai, sekolah libur. Juga kalau ada air rob pasang dan banjir,” kata Hotiah. Ia mengatakan, saat ini tercatat ada 25 murid yang belajar di lembaga pendidikan anak usia dini tersebut.

Namun, sesungguhnya bukan itu alasan utama murid-murid yang tidak selalu lengkap jumlahnya, melainkan biaya sekolah itu yang dibayar harian, sebesar Rp 2.500.

”Kadang kala, jika ada murid tidak punya uang hari itu, mereka tidak sekolah. Padahal, kami sudah memberitahukan, jika memang tak ada uang pun bisa terus datang ke sekolah,” ujar Hotiah.

Sistem pembayaran itu diterapkan Hotiah berdasarkan pendapatan orangtua anak-anak tersebut yang diperoleh secara harian. Ketika memulai kelas pendidikan itu tahun 2007 dengan selembar karpet lusuh, Hotiah bersama suaminya, Eka Putra (42), hanya memungut biaya Rp 1.000 per hari. Lalu, biaya naik menjadi Rp 1.500, Rp 2.000, dan kini Rp 2.500 setiap harinya.

Biaya itu dipergunakan untuk menanggulangi pengeluaran operasional sekolah, yang menurut Hotiah mencapai Rp 1.000.000 setiap bulan, dan membayar iuran air, rekening listrik, serta gaji tenaga pengajar.

Selain itu, uang tersebut untuk membayar sewa rumah seharga Rp 3 juta per tahun. Lokasi rumah kontrakan pun sudah berpindah sejauh 50 meter dari rumah kontrakan lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com