”Jika penduduk usia produktif lebih banyak menganggur dan tidak mempunyai penghasilan, akan menjadi beban dan ancaman,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Wendy Hartanto di Jakarta, Rabu (11/4).
Penduduk usia produktif (15-64 tahun) tahun 2010 mencapai 66 persen dari jumlah total penduduk (157 juta jiwa). Adapun pekerja usia muda (15-24 tahun) 26,8 persen (64 juta jiwa). Angka ketergantungan, 100 penduduk usia produktif menanggung 51 orang penduduk tak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Pada 2020-2030, 100 penduduk usia produktif diperkirakan menanggung 44 orang tak produktif. Setelah itu, angka ketergantungan penduduk akan naik kembali.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan, jumlah pengangguran terbuka nasional tahun 2011 mencapai 6,56 persen (7,7 juta jiwa) penduduk. Pengangguran terbuka usia muda (15-24 tahun) mencapai 5,3 juta jiwa, 20 persen (1,06 juta jiwa) di antaranya lulusan perguruan tinggi.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut, pekerja usia muda Indonesia 4,6 kali lebih sulit mendapatkan kerja dibandingkan pekerja dewasa. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata dunia, pekerja usia muda 2,8 kali lebih sulit mendapat kerja.
ILO juga mencatat, pengangguran terbuka berumur 15-29 tahun di Indonesia 19,9 persen, tertinggi di antara negara-negara di Asia Pasifik. Namun, ini lebih rendah dari negara-negara di Eropa yang sedang dilanda krisis keuangan.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi mengatakan, pengangguran tinggi di kalangan yang memiliki pendidikan tinggi. Dengan kemampuan dan keterampilannya, mereka menuntut gaji dan fasilitas tertentu. Di sisi lain, mereka yang berpendidikan sekolah dasar atau tak mengenyam pendidikan sama sekali mau bekerja apa saja tanpa ada perlindungan sosial dan kesejahteraan. ”Pemerintah harus memiliki strategi jelas karena pasar tenaga kerja terbagi dua,” katanya. Investasi harus diarahkan pada dua jenis tenaga kerja yang memiliki karakter berbeda.
Menurut Sonny, ekonomi kreatif cocok dikembangkan untuk pekerja dengan pendidikan tinggi. Penciptaan wirausaha harus sudah dan makin gencar dilakukan sejak di perguruan tinggi sehingga mereka mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
”Jika persiapan menyongsong bonus demografi terlambat dilakukan, potensi bonus demografi bisa terlewatkan,” katanya.