Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lalu, Untuk Apa LKS Dipertahankan?

Kompas.com - 19/04/2012, 12:15 WIB
M.Latief

Penulis

Oleh: Itje Chodidjah

KOMPAS.com - Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 181 memang bagus untuk menghindarkan guru dari berdagang. Pasal tersebut berbunyi, "Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan".

Namun demikian, selalu saja ada celah yang dapat diciptakan ketika ada kesempatan memperoleh keuntungan langsung finansial. Tak heran, Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dianggap sebagai salah satu perlengkapan bahan ajar, dan sedianya diharapkan dibuat sendiri oleh guru bidang studi bersangkutan atau lewatMusyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), ternyata akhirnya berbeda. Beberapa guru "kreatif" kemudian mengemas LKS menjadi seolah layak jual dan menjadi komoditas.

Gayung pun bersambut. "Kreatifitas" itu lalu disambut oleh penerbit yang tidak jelas alamatnya, dan kemudian jadilah seolah produk yang dianggap bisa membantu proses pembelajaran. Dengan nama yang digunakan, Lembar Kerja Siswa, lantas dianggap sebagai materi yang dianggap memenuhi kebutuhan siswa. Lantas petanyaannya, siapa yang mengawasi pembuatan LKS dan mengontrol isinya?

LKS yang selayaknya dibuat sendiri oleh guru yang mengajar di sekolahnya malah diperdagangkan secara luas. Seharusnya, kalau seorang guru mengajar bidang studi IPA, dia boleh membuat LKS IPA untuk pengayaan materi di kelas, tetapi bukan untuk diperjual belikan. Tentu saja, LKS ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa dan bersifat edukatif.

Kini, LKS diperdagangkan meluas, bahkan sampai lintas pulau. LKS menjadi komoditi perdagangan yang marak. LKS yang dijual dengan harga relatif terjangkau di Jawa, sampai di luar Jawa harga LKS bisa menjadi 3 kali lipat lebih mahal. Walaupun sudah ada peraturan, bahwa sekolah tidak boleh melakukan jual beli buku ajar siswa, tetapi untuk materi pengayaan seperti LKS, sekolah menagihkan pembeliannya kepada siswa.

Seorang siswa SMP di sekolah yang mayoritas siswanya berlatar belakang ekonomi pas-pasan membayar tidak kurang dari Rp 180 ribu untuk beberapa LKS yang akan digunakan selama satu semester. Jika sekelas ada 40 orang anak, maka jumlah dana yang dihasilkan adalah Rp 7.200.000.

Tidak murah

Wujud LKS adalah serangkaian soal-soal. Rata-rata tebalnya sekitar 50 sampai 60 halaman, yang dicetak seadanya. Dari tampilannya saja terlihat, bahwa LKS adalah produk buku murah, walaupun harganya tidak murah. Isinya, menurut pengamatan saya, adalah asal buat.

Beberapa contoh ekstrem pernah saya lihat antara lain, soal yang menanyakan tentang apa itu kartu keluarga, paspor itu dikeluarkan oleh siapa, dan sebagainya. LKS tersebut digunakan oleh siswa kelas 2 tingkat sekolah dasar (SD). Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak esensial untuk mendukung pembelajaran.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com