Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengabdi dalam Keterpinggiran

Kompas.com - 03/05/2012, 09:58 WIB


Oleh Andi Riza Hidayat

Semangat mengabdi sebagai pendidik tak pernah luntur kendati harus dijalani dengan honor pas-pasan, malah jauh di bawah standar upah buruh. Hanya berharap suatu hari ada keberpihakan pada nasib mereka. Inilah balada para guru honorer.

Aris Kurniawan (34) sebagai guru honorer memiliki beban kerja setara dengan guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolahnya. Ia mengajar kelas III Sekolah Dasar Negeri Curug 01, Bojongsari, Kota Depok, mulai dari Senin sampai Sabtu untuk enam mata pelajaran.

Namun, honor yang diperoleh dari kerja kerasnya itu hanya Rp 500.000 per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan standar upah minimum seorang buruh di Depok, yaitu Rp 1.453.000 per bulan. Sementara gaji seorang guru PNS di Depok Rp 2,1 juta sampai Rp 3,5 juta per bulan.

Lebih ironis lagi, di ibu kota negara ini juga masih ditemukan guru honorer yang honor per bulannya kurang dari Rp 250.000. Nurjaman salah satunya. Guru agama di sebuah SMP negeri di Sunter Jaya, Jakarta Utara, ini hanya memperoleh honor Rp 220.000 per bulan, ditambah tunjangan fungsional Rp 300.000 per bulan yang biasanya dibayar secara rapel tiga atau enam bulan sekali. Padahal, seorang guru PNS di DKI Jakarta bisa membawa pulang gaji sebesar Rp 7,7 juta sampai Rp 9,4 juta per bulan sesuai dengan golongannya.

Namun, dengan penghasilan yang begitu minim, Nurjaman yang sudah menjalani profesi sebagai guru honorer sejak tahun 1990 itu masih tetap ingin mengabdi sebagai guru. ”Saya tetap ingin mengabdi sebagai guru. Ini sudah menjadi cita-cita sejak kecil,” ucapnya.

Buruh sampai ojek

Ketika honor yang diterima minim, pekerjaan serabutan pun dilakukan para guru honorer, antara lain berjualan, menjadi buruh di percetakan atau reparasi elektronik, dan mengojek sepeda motor.

Pagi sampai siang, Sudana (30), lulusan Universitas Terbuka, mengajar Bahasa Indonesia. ”Malam, saya mengojek,” kata guru honorer di sebuah SMP di Kota Bekasi ini.

Dari mengojek, ayah satu anak ini memperoleh rata-rata Rp 20.000 per hari. Jumlah yang cukup lumayan sebagai penghasilan tambahan. Sebab, gaji dan tunjangan sebagai guru honorer hanya Rp 600.000 per bulan.

Bukan cerita baru kalau keterlambatan tunjangan fungsional kerap menimbulkan keresahan di kalangan guru honorer ini. Senin (30/4) lalu, sekitar 30 guru dan pegawai tata usaha honorer dalam Komite Guru Bekasi (KGB) berunjuk rasa mempertanyakan tunjangan fungsional yang belum dibayarkan selama empat bulan.

Ketua KGB Mukhlis Setiabudi memaparkan, guru dan tenaga honorer bertambah resah setelah mengetahui hanya guru honorer yang memulai masa tugas tahun 2010 yang memperoleh rapel tunjangan fungsional selama tiga bulan. Sementara guru honorer yang bertugas sejak tahun 2008 belum menerima sepeser pun. ”Kalau caranya seperti ini, jelas menimbulkan kecemburuan,” kata Mukhlis.

Di luar itu, masih ada sekitar 1.500 guru honorer yang sama sekali belum memperoleh tunjangan fungsional itu.

Kontribusi guru honorer

Kontribusi yang diberikan guru honorer dalam mencerdaskan anak didik ini sesungguhnya tidak sedikit. Di DKI Jakarta, contohnya, setidaknya ada 13.000 guru honorer yang tersebar di sejumlah sekolah negeri, tak kurang dari 1.300 guru honorer di sekolah di Depok, dan 2.200 guru honorer di Kota dan Kabupaten Bekasi.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com