Tasikmalaya, Kompas -
Talasemia adalah kelainan darah karena kurangnya hemoglobin sehingga penderita harus ditransfusi darah secara rutin. Hal ini dipicu faktor keturunan. Usia penderita talasemia di Tasikmalaya 1-16 tahun.
”Hampir semua penderita talasemia berhenti sekolah sejak sekolah dasar. Akibatnya, potensi yang mereka miliki tak bisa dimaksimalkan,” kata Ketua Yayasan Setetes Darah Sejuta Harapan (Setara) Baihaki Umar di Tasikmalaya, Jumat (22/6). Setara adalah yayasan nonprofit yang menyediakan darah gratis bagi penderita talasemia di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Baihaki mengakui, memaksa penderita talasemia untuk beraktivitas di sekolah umum sangat rentan. Mereka lebih cepat lelah sehingga jadwal untuk transfusi darah akan makin banyak. Padahal, ketersediaan darah sering kali tidak seimbang dengan kebutuhan darah penderita talasemia. Kini, seorang penderita talasemia membutuhkan 4-6 labu darah per dua minggu agar bisa menjalankan aktivitas sehari-hari.
”Sejauh ini, penyediaan darah untuk penderita talasemia masih bisa dipenuhi. Namun, bila harus ditambah jumlahnya, kami kesulitan karena darah yang ada tidak banyak,” katanya.
Baihaki mengatakan, rasa percaya diri penderita talasemia relatif rendah. Umumnya mereka malu dengan kondisi fisik yang lekas lelah. Akibatnya, mereka malas pergi sekolah dan bergaul dengan siswa lain.
Karena itu, menurut Baihaki, penting bagi penderita talasemia dibuatkan lembaga pendidikan khusus. Materi pelajarannya tidak perlu sama dengan kurikulum sekolah umum asalkan bisa menampung pengembangan bakat penderita talasemia.
Dini Apriliani (16), penderita talasemia asal Cipedes, Kota Tasikmalaya, menuturkan, ia berhenti sekolah sejak kelas IV SD. Ia malu dengan kondisi fisiknya yang mudah lelah. Ia kerap absen dalam beragam kegiatan sekolah.
”Kalau harus kembali melanjutkan ke SD atau SMP, saya tidak mau. Saya mau belajar kalau semua muridnya sama seperti saya (menderita talasemia),” katanya.
Ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Talasemia Affandi mengatakan, tidak hanya putus sekolah, tetapi banyak penderita talasemia yang juga tak mengenyam pendidikan formal sama sekali.
”Kami berharap ada perhatian. Tidak sekadar transfusi darah, tetapi anak-anak penderita talasemia juga dibantu mendapatkan akses pendidikan,” kata Affandi.