Ester Lince Napitupulu
Padahal, banyak anak keluarga miskin berhasrat mencapai pendidikan setinggi mungkin agar dapat memperbaiki hidup.
Suburiah (18) selama tiga tahun selulus SD di Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, terpaksa menunda hasratnya untuk menjadi siswa SMP. Ayahnya yang nelayan dan ibunya yang petenun sarung tak mampu menyediakan biaya yang dibutuhkan untuk membeli seragam, buku, serta transportasi ke sekolah. ”Jadi, saya bantu ibu untuk menenun,” ujar Suburiah, anak kedua dari enam bersaudara ini.
Nasib serupa dialami Muhammad Ridho (16) dari Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Lulus SD, Ridho yang hanya dibesarkan ibunya tidak bisa melanjutkan ke SMP karena tidak ada biaya.
Ridho yang menempati peringkat keempat ketika SD terpaksa membantu ibunya untuk bertahan hidup. Dia menggarap sawah orang hingga membuat bola sepak.
Anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia pun setali tiga uang. Anak-anak TKI usia sekolah tidak bisa menikmati pendidikan. Pemerintah Malaysia tidak memperbolehkan orang asing bersekolah di sekolah milik pemerintah itu. Bersekolah di swasta tidak terjangkau karena kendala biaya.
Sampai akhir tahun 2011 tercatat 43.000 anak-anak TKI belum mendapatkan layanan pendidikan. Mereka berada di perkebunan sawit atau pabrik yang jauh dari sekolah.
Kisah anak-anak miskin yang putus sekolah terungkap dalam Lomba Motivasi Belajar Siswa Mandiri (Lomojari) Bidang Keterampilan Peserta Didik SMP Terbuka Tingkat Nasional di Jakarta, pekan lalu. Padahal, seharusnya negara memenuhi hak mereka untuk bisa menuntaskan pendidikan. Untuk itu, pemerintah membuat SMP terbuka untuk menampung mereka.