Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keterjangkauan Pendidikan Tinggi

Kompas.com - 18/07/2012, 02:12 WIB

Anita Lie

Pada tingkat makro, pendidikan tinggi mempunyai peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia.

Secara pragmatis-ekonomis, pendidikan tinggi akan mengembangkan komunitas warga terdidik, terampil, berbudaya, dan berakhlak mulia untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945.

Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang semakin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia. Pada tingkat individual, pendidikan tinggi merupakan salah satu rute yang bisa diambil warga masyarakat untuk mempertahankan atau meningkatkan status dan kelas sosial-ekonomi.

Setelah melalui beberapa proses revisi, Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) direncanakan untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 13 Juli 2012. Bisa dipastikan UU PT yang baru akan menghadapi proses uji materi di Mahkamah Konstitusi karena kalangan akademisi, terutama dari PTN, mencemaskan pengebirian otonomi perguruan tinggi. Penempatan permasalahan dalam perspektif berbagai kepentingan bisa membantu memberikan alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi.

Pusaran kepentingan

Komplikasi dalam pembuatan dan implementasi kebijakan pendidikan tinggi tampak dalam dinamika pro-kontra yang berakhir pada pembatalan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). DPR dan pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sebagai pemegang kewenangan berupaya melegalisasi kewenangan pengaturan tata kelola pendidikan tinggi dalam UU PT. Rully Chairul Azwar, anggota Komisi X DPR, menyebutkan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) sebagai alasan pengesahan RUU PT.

Kalangan akademisi mencemaskan UU PT yang baru akan berakhir pada pengebirian otonomi dalam pengelolaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Potensi intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi dikhawatirkan, seperti soal kurikulum, pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat, akan menghambat inovasi, kreativitas, dan keunggulan akademik. Bahkan, sebagian kalangan akademisi ini ”merindukan” kembali ke UU No 9/2009 tentang BHP yang dianggap lebih membawa semangat otonomi. Kalangan akademisi juga berupaya menepis kekhawatiran masyarakat bahwa otonomi universitas akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu (Sulistyowati Irianto, 2012).

Sementara itu, kalangan warga masyarakat (mahasiswa dan sebagian akademisi yang lain) mencemaskan implementasi otonomi sebagai pengurangan akses bagi masyarakat miskin. Wacana ”kastanisasi” oleh Darmaningtyas dkk dan penolakan terhadap penyeragaman oleh kalangan PTS menjadi motor dalam proses pembatalan UU tentang BHP. Komisi X DPR memberi tagline yang terdengar populis, MPR (Melindungi Stakeholders, Pro- Rakyat, Relevan) untuk UU PT baru.

Pendanaan 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com