Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Rendah, Tenaga Kerja Indonesia Kalah Bersaing

Kompas.com - 17/09/2012, 17:23 WIB
Ester Lince Napitupulu

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Untuk meningkatkan daya saing dan kemajuan ekonomi Indonesia, perlu ada nilai tambah dari potensi sumber daya yang ada di Indonesia. Peningkatan nilai tambah ini perlu dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang jadi fokus pendidikan tinggi.

Hal itu dikemukakan izam, Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Indonesia, Senin (17/9/2012). Namun, peningkatan nilai tambah dari potensi alam yang ada di Indonesia menghadapi kendala rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia yang kalah dibandingkan negara lain.

"Produktivitas tenaga kerja kita hanya separuh dari Thailand dan seperlima Malaysia. Ini karena pendidikan dan kualitasnya rendah. Dengan peningkatan pendidikan tinggi vokasi, kita harapkan daya saing dan produktivitas bisa meningkat," tutur Nizam.

Angkatan tenaga kerja Indonesia pada 2010 tercatat SD/tidak tamat SD sebanyak 51,5 persen, SMP 18,9 persen, dan SMA 14,6 persen. Adapun SMK masih 7,8 persen, serta diploma dan perguruan tinggi berkisar 7 persen.

"Angkatan kerja jenjang perguruan tinggi di Malaysia saja sudah 20 persen, kita masih 7 persen. Karena itu, supaya bisa berkompeteisi di tingkat regional dan internasional, kita dorong pendidikan vokasi yang setara perguruan tinggi, lewat diploma, baik yang di akademi komunitas untuk diploma 1 dan 2, sedangkan diploma tiga hingga sarjana terapan di politeknik," papar Nizam.

Menurut Nizam, pendidikan tinggi vokasi lewat pendirian akademi komunitas tidak mesti mendirikan institusi baru. Bisa saja akademi komunitas itu dikembangkan PTN dan PTS yang ada, termasuk oleh perusahaan yang ada di daerah.

Ketua Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar PGRI, Mohammad Abduhzen mengatakan, moratorium perguruan tinggi dan program studi bukan solusi untuk mengatasi rendahnya keterkaitan lulusan perguruan tinggi dunia kerja.

"Pengawasan terhadap perguruan tinggi itu yang mestinya jalan. Perguruan tinggi yang baru belum tentu mutunya kalah dengan yang sudah ada. Anehnya, ada kebijakan moratotium perguruan tinggi, namun pemerintah mendukung akademi komuitas," ungkap Abduhzen.

Anggota Asosiasi Badan Penyelenggara PTS Indonesia Semarang, Sudarto, mengatakan, sebenarnya banyak PTS yang keberadaannya didirikan sesuai potensi masyarakat setempat. "Kalau dinilai tidak bermutu kenapa PTS itu tidak diberdayakan? Kok, malah mendisain akademi komunitas. Semestiya PTS yang ada diberdayakan untuk bisa menjawab kebutuhan sumber daya manusia Indonesia sesuai kebutuhan di masa mendatang," tutur Sudarto.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com