Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ke Mana Bapak-Ibu Guru SMAN 70 dan SMAN 6?

Kompas.com - 25/09/2012, 12:50 WIB
Caroline Damanik

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Peran kepala sekolah serta bapak dan ibu guru di SMAN 70 dan SMAN 6 dipertanyakan menyusul terus berulangnya aksi tawuran yang melibatkan pelajar dari dua sekolah ternama di kawasan Jakarta Selatan tersebut. Peran para guru terkesan nihil dalam mendidik sikap dan perspektif anak didiknya karena tawuran selalu berulang hampir setiap tahun.

Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, tawuran terus berulang karena pihak sekolah dan guru tak serius dan tuntas menindaklanjuti deklarasi damai setelah aksi tawuran terjadi. Akibatnya, doktrinasi kekerasan dari senior ke yunior dan transfer "dendam kesumat" terus berjalan.

"Doktrin itu harus dihapus. Siapa lagi kalau bukan oleh guru dan lingkungan sekolah. Itu berbahaya," tuturnya kepada Kompas.com, Selasa (25/9/2012).

Menurutnya, para guru harus visioner dalam memutus mata rantai doktrinasi kekerasan yang dibungkus dalam dominasi senior. Guru harus bisa memahami bahwa remaja melakukan imitasi dalam perkembangannya.

Jadi, lanjutnya, guru harus melihat kemungkinan bahwa para siswanya melakukan daur ulang terhadap kekerasan yang dialaminya. Bisa saja dari para guru, dari seniornya, atau dari aksi-aksi kekerasan di tengah masyarakat yang diamatinya secara langsung ataupun di media massa.

Rotasi kepsek dan guru

Arist juga melihat perlu dilakukannya rotasi kepala sekolah dan guru di SMAN 6 dan SMAN 70 ke sekolah lain. Menurutnya, ada sejumlah guru, misalnya pejabat sekolah dan guru bimbingan, yang sudah lama bercokol di dua sekolah tersebut. Mereka, dinilainya, menutup mata terhadap fenomena tawuran antarpelajar yang kerap terjadi hingga memakan korban jiwa.

"Perlu ada rotasi guru yang terkesan berpihak (kepada tawuran) ke sekolah lain. Kepala sekolah juga. Tujuannya, agar kepsek dan guru itu mengenal sekolah lain juga. Supaya sekolah tidak bertumpu kepada orang yang itu-itu saja," tegasnya.

Selain itu, Arist menyorot otoritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta dalam mengevaluasi sistem pendidikan nasional. Pasalnya, sistem saat ini memaksa guru dan siswa hanya untuk mengejar target nilai. Akibatnya, ruang ekspresi anak dibatasi dan memilih untuk mengekspresikannya secara negatif.

 
Berita terkait peristiwa ini dapat diikuti dalam topik "Tawuran SMA 70 dan SMA 6"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com