JAKARTA, KOMPAS.com - Belum kering tanah kubur Alawy Yusianto Putra yang meninggal akibat keberingasan pelajar pada Senin lalu, Rabu (26/9) siang, kembali terjadi tawuran yang menewaskan Deni Januar. Ironinya, kasus ini terjadi saat semua pihak berkomitmen mengakhiri tawuran.
Deni Januar (17), siswa kelas XII SMA Yayasan Karya 66 (YK), Kampung Melayu, Jakarta Timur, tewas terkena sabetan senjata tajam pelajar SMK Kartika Zeni (KZ). Deni meninggal saat terjadi tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan. Kejadian ini mementahkan tekad Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk mengakhiri tawuran pelajar di ibu kota negara ini.
”Ini adalah kasus terakhir. Mulai hari ini akan kami dukung penuh agar tawuran tak terjadi lagi,” kata Nuh saat jumpa pers di SMAN 6, Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa lalu.
Pernyataan sikap itu dideklarasikan pasca-tewasnya Alawy dalam perkelahian antara siswa SMAN 70 dan SMAN 6. Alawy adalah siswa kelas X di SMAN 6.
Tegakkan hukum
Meski demikian, Nuh di Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, kemarin malam, seusai menemui AU (17), pelajar tersangka kasus penusukan Deni, kembali menegaskan, sanksi hukum bagi anak-anak yang terlibat dalam kriminalitas, termasuk tawuran, harus ditegakkan.
Apabila hal ini tidak dilakukan, Nuh khawatir kejadian semacam ini akan terus menyebar karena muncul asumsi bahwa hukuman yang diberikan ringan.
”Semua opsi untuk menyelesaikan harus dibuka, termasuk sanksi hukum yang harus ditegakkan betul. Kalau sudah begini, harus diberikan hukuman yang setimpal, tetapi hak sebagai anak dilindungi,” tuturnya.
Nuh bertemu dan berbincang dengan AU secara tertutup di Markas Polres Jakarta Selatan. Ia mengajukan beberapa pertanyaan. Namun, Nuh mengaku sangat terkejut mendengar jawaban spontan AU yang mengatakan puas sudah membunuh korban.
”Siapa tidak terkejut. Membunuh orang puas. Saya tanya lagi, ’Apa benar puas setelah membunuh’? Dia jawab, ’Puas, Pak, tetapi saya agak menyesal’. Baru kata penyesalan itu keluar,” ungkap Nuh.
Berkaca dari jawaban itu, Nuh mengaku bahwa sekolah perlu dibantu karena menerima beban luar biasa tidak hanya mendidik, tetapi juga mengubah perilaku sosial siswa yang berat.
Sekolah tidak bisa langsung dipersalahkan karena terkadang, saat masuk sekolah, anak sudah membawa beban sosial yang luar biasa berat. Dia mengaku sedang berupaya memikirkan solusi untuk mengatasinya.
Sementara itu, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto, ia dicecar berbagai pertanyaan. Intinya, tiga anggota Komisi X DPR, Dedi Gumilar, Zulfadli, dan Reni Marlinawati, mendesak Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta mencopot para kepala sekolah yang siswanya terlibat dalam perkelahian sehingga menyebabkan siswa lain tewas. Tindakan pencopotan para kepala sekolah sudah pantas dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.
”Tindakan kriminal yang dilakukan para siswa itu bukan tindakan mendadak, tetapi sudah terakumulasi bertahun-tahun dan sudah menjadi tradisi pewarisan tindak kekerasan dari senior kepada yuniornya. Terus, ke mana saja para kepala sekolah itu?” kata Dedi.
Zulfadli menyampaikan hal senada. ”Kasus tawuran pelajar yang menewaskan siswa lain ini cermin kegagalan besar kepala sekolah. Dia gagal sebagai pendidik. Dia juga gagal sebagai manajer,” katanya.