Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus FR dan AD, Ada Pemaknaan "Hero" yang Salah

Kompas.com - 08/10/2012, 11:36 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Fitra Rahmadani/FR (19) dan AD (17), meramaikan pemberitaan media massa beberapa waktu lalu. Fitra ditetapkan aparat kepolisian sebagai tersangka utama kasus pembacokan terhadap Alawy Yusianto Putra (17), siswa SMAN 6 Jakarta. Sementara AD (17), menjadi tersangka utama kasus pembacokan terhadap Dany Yanuar (17), siswa SMA Yayasan Karya 66 Jakarta. Di usia yang begitu muda, AD tega menghabisi nyawa orang lain. Persoalannya hanya karena kebencian yang begitu mendalam.

"Kebencian warisan yang diturunkan secara turun temurun membuat hal ini tertanam di dalam benak masing-masing siswa," ujar Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Arif Nurcahyo, Minggu (7/10/2012) saat dihubungi wartawan.

Menurut Nurcahyo, kebencian itu ditanamkan sejak mereka di bangku kelas 1 SMA. Secara tidak langsung, para senior mendidik adik-adik kelasnya konsep in-group dan out-group. "Di mana di konsep itu, kita bukan mereka, mereka bukan kita. Kita berbeda. Ini yang ditanamkan," ujarnya.

Konsep itu pula yang menguatkan solidaritas kelompok. Ketika ada satu orang diserang, maka semua akan membalasnya. Kuatnya nilai-nilai kelompok yang diresapi para remaja ini, lanjut Nurcahyo, menyebabkan individu remaja tidak lagi rasional.

"Di dalam kelompok itu, sudah ada deindividualisasi. Tidak lagi menjadi pribadi sendiri-sendiri, tapi sudah menyatu ke dalam kelompok. Mereka akan memiliki memori kolektif yang sama, kebencian yang sama, dan bertindak irrasional," ujar Nurcahyo.

Peran Si Jagoan

Di dalam kelompok itu pula, kata Nurcahyo, ada sosok yang disegani. Dialah yang biasanya menjadi pemimpin kelompok itu. Di dalam kasus penyerangan Alawy, Fitra mengemban peran itu. Menurut perwira kepolisian yang sempat melakukan psikotes kepada Fitra dan AD ini mengaku bahwa kelompoklah yang menjadikan Fitra sebagai pemimpin.

"Dengan label dia sering tawuran, dua kali nggak naik kelas, dan pernah berurusan dengan aparat polisi ini justru membuat dia hero bagi teman-temannya. Di sinilah ada kesalahan pemaknaan," ujarnya.

Alhasil, Fitra yang disebut Nurcahyo sebagai korban dari kerapuhan nilai yang dimilikinya dari orangtua ini terpaksa harus mengemban tanggung jawab melindungi kelompoknya. "Jadi begitu ada temannya yang menjadi korban, Fitra ini langsung turun membalas. Jadi saat itu memang dia berniat balas dendam karena sudah ada senjata tajam yang didapatnya dari teman," kata Nurcahyo.

Sementara di dalam kasus AD, pemuda ini menusuk Dany Yanuar karena menganggap siswa SMA Yake itu sebagai pahlawan di kelompoknya. Saat ditemui tim Psikolog Polda, AD pun kembali menyatakan kepuasan hatinya telah membunuh Dany.

"Dia memang mengaku puas. Tapi yang dimaksudnya dengan puas itu lega, karena sudah berhasil menghabisi sosok hero di kelompok lawannya," kata Nurcahyo.

Baik AD maupun Fitra sama-sama memiliki memori kolektif. Mereka tidak secara acak memilih korbannya. Mereka sudah menargetkan sasarannya adalah kelompok musuh bebuyutannya. Selain faktor kebencian kolektif yang ada di kedua pemuda itu, Nurcahyo juga beranggapan bahwa kurangnya peran keluarga membuat mereka tidak bisa menyaring nilai yang benar dan salah.

"Penanaman nilai oleh keluarga yang diterima kedua pemuda itu di masa kritis jelas kurang. FR keluarganya sibuk, sementara AD keluarganya tidak mampu. AD sudah mandiri sejak dini dengan jadi tukang parkir," katanya.

Kegiatan bersama

Nurcahyo menilai satu-satunya cara untuk memutus tradisi tawuran adalah dengan membuat kegiatan bersama. Kegiatan di mana, diperlukan kerja sama kelompok dan rasa senasib sepenanggungan ini yang harus ditumbuhkan mulai dari sekarang.

"Buatlah kegiatan misalnya di daerah yang tidak ada listrik. Dua sekolah yang kerap tawuran, dijadikan satu. Mau tidak mau mereka akan bekerja sama, ini akan membekas lama," kata Nurcahyo.

Tanggung jawab terhadap para pelajar ini juga harus disadari orangtua, pemerintah, guru, dan juga aparat kepolisian dalam hal penegakkan hukum.

Berita terkait dapat diikuti di topik : TAWURAN BERDARAH

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com