Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaknai Pendidikan

Kompas.com - 10/10/2012, 11:02 WIB

Pengantar Redaksi
Menandai peringatan Hari Kemerdekaan RI, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri II/2012 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan”, diskusi menampilkan pembicara Jalaluddin Rakhmat (Yayasan Muthahari), Elin Driana (Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka), dan H Soedijarto (Universitas Negeri Jakarta), dipandu oleh Daniel Adipranata. Hasil diskusi yang dirangkum oleh Chris Panggabean dan Daniel Adipranata dari LMI serta wartawan ”Kompas” Kenedi Nurhan, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

***

Sesuatu yang alamiah jika individu menginginkan yang terbaik. Sesuatu yang mulia jika ada kehendak untuk maju mencapai kondisi yang lebih baik lagi. Dalam hal ini pembanding diperlukan. Apakah membandingkan satu hal dengan hal lain yang setara; atau membandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Apa pun itu diperlukan suatu tolok ukur, gunanya untuk meminimalkan bias dalam menilai diri. Setelah proses belajar berlangsung banyak pihak yang ingin mengetahui, sampai sejauh apa pelajaran dapat terserap, siswa mana saja yang kemampuan menyerap pengetahuannya lebih terbelakang dibanding teman-teman satu sekolah, sekolah mana saja yang dapat memberikan proses pembelajaran yang terbaik dan seterusnya.

Tolok ukur diharapkan menjadi masukan dalam proses evaluasi sehingga dapat diketahui sudah sejauh apa melangkah dan sisi mana yang masih perlu diperbaiki.

Konstruk pengukuran semestinya disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuannya untuk evaluasi proses, selayaknya ia ditempatkan sebagai data masukan untuk memperbaiki proses. Lantas bagaimana jika angka tolok ukur menjadi tujuan itu sendiri?

Atau lebih parah lagi tolok ukur turut dijadikan penentu kelulusan siswa, penentu besarnya dana bantuan ke sekolah, penentu karier para guru? Karena ada konsekuensi besar pascamistar pengkuran (lewat high stakes testing), serta-merta subyek-subyek yang terlibat dalam ujian nasional menjadikan angka-angka yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai tujuan.

Tidak mengherankan jika dalam ujian nasional ada banyak kasus di mana kepala sekolah dan para guru memfasilitasi siswanya untuk saling ”berbagi” saat ujian berlangsung. Pihak sekolah ingin konduite sekolahnya bagus, para siswa tidak ingin mengulang satu tahun lagi.

Untuk itu angka kelulusan minimal harus tercapai. Tanpa disadari oleh pembuat kebijakan standar baku yang ditentukannya menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah.

Kontradiksi

Ada kontradiksi dalam kebijakan pendidikan nasional. Sistem evaluasi pendidikan nasional di akhir bertentangan dengan proses pembelajaran yang sudah berlangsung. Ujian Nasional yang seharusnya memetakan perbedaan kualitas pendidikan malah menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Padahal, perbedaan kualitas pendidikan dan pengetahuan sejak semula ada di dalam proses pendidikan itu. Pemerintah mengenal beberapa kategori sekolah: sekolah reguler, sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah berstandar internasional (SBI). Setiap kategori memiliki perbedaan fasilitas dan metode belajar mengajar.

Untuk ketiganya diadakan Ujian Nasional yang sama. Saat ini sistem pendidikan nasional menggunakan kurikulum operasional yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Intinya pihak sekolah dan komite sekolah diminta untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi geografis, ekonomis, dan sosial di mana sekolah itu berada.

Artinya, proses pembelajaran sangat dimungkinkan berbeda-beda antarsekolah sesuai dengan karakteristik tiap-tiap sekolah. Untuk kesemuanya itu, kelulusan siswa ditentukan oleh satu ujian nasional yang sama.

Cara berpikir yang sama juga pernah coba diterapkan lewat aturan yang mewajibkan mahasiswa S-1 dapat lulus jika telah menulis satu artikel di jurnal ilmiah. Pembuat kebijakan seolah tak paham bahwa di dunia ilmiah yang dipandang adalah impact factor-nya, bukan seberapa banyak jurnal yang diterbitkan. Jika angka yang menjadi tujuan, ada banyak cara pragmatis untuk mencapainya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com