Jakarta, Kompas
Dari data yang tersaji di Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2012 yang diluncurkan UNESCO pekan ini, ada 58 negara yang masuk dalam kelompok Education Development Index (EDI) tinggi karena mencapai angka di atas 0,95. Selain itu, 42 negara di kelompok EDI sedang dengan angka di atas 0,8, dan 20 negara di kategori EDI rendah karena nilainya di bawah 0,8. Ada empat negara yang berhasil pindah dari kategori EDI rendah ke sedang, yakni Ghana, Guatemala, Lesotho, dan Malawi.
Indonesia memiliki EDI 0,938. Dari empat tujuan pencapaian EFA 2015 yang dikaji UNESCO tiap tahun, terlihat Indonesia mampu meningkatkan akses pendidikan dasar yang tinggi dengan nilai 0,991. Demikian juga tingkat melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan kesetaraan jender dalam pendidikan yang semakin membaik.
Namun, Indonesia masih memiliki tantangan untuk mengatasi angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar SD-SMP. Terlihat pada penilaian angka bertahan siswa di kelas V SD, Indonesia mendapat nilai terendah dari tiga indikator lain untuk menghitung EDI.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, akses pendidikan dasar di Indonesia dinyatakan tuntas karena angka partisipasi kasar jenjang SD dan SMP sudah di atas 95 persen. Namun, persoalan angka putus sekolah memang masih menjadi tantangan, terutama di kalangan siswa tidak mampu.
Jumlah siswa putus sekolah di SD tahun lalu sekitar 465.000 orang, sedangkan yang tidak melanjutkan ke SMP sekitar 229.000 siswa. Persoalan pendidikan di SD pun kompleks, mulai dari sarana dan prasarana yang minim hingga kualitas guru SD yang terendah dibandingkan dengan guru TK, SMP, dan SMA/SMK.
Pada tahun ini, EFA Global Report Monitoring Ke-10 memfokuskan perhatian pada pendidikan keterampilan yang harus diberikan kepada anak-anak muda. Sebab, masih banyak anak usia 15-24 tahun tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar sehingga terancam jadi penganggur atau tenaga kerja berupah rendah, yang membuat mereka masuk kelompok masyarakat miskin.
Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova mengemukakan, pendidikan bukan hanya untuk membuat anak-anak dapat bersekolah. Pendidikan juga harus mampu menyiapkan anak-anak muda dapat menjalani hidup serta memberi kesempatan bagi mereka mendapatkan pekerjaan yang baik. Selain itu, agar mereka memiliki penghasilan yang layak, berkontribusi pada komunitas dan masyarakat, serta mengembangkan potensi diri mereka.
Saat ini, di dunia, satu dari delapan anak usia 15-24 tahun mencari pekerjaan. Seperempat dari anak muda yang bekerja mendapat upah tidak lebih dari 1,25 dollar AS (Rp 12.000) per hari sehingga mereka terjebak dalam pekerjaan yang memiskinkan.
”Sejumlah pemerintah memang menciptakan lapangan kerja bagi anak-anak muda tersebut. Namun, tak semua anak muda mempelajari keterampilan dasar,” kata Irina.