Kode etik guru Indonesia ini disosialisasikan dalam rapat kerja nasional Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) dan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Minggu (21/10).
PGRI juga membentuk DKGI di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Lembaga ini menjadi lembaga independen untuk memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, dan penegakan disiplin organisasi serta etika profesi guru. Selain itu, PGRI juga membentuk LKBH untuk memberi perlindungan hukum bagi guru yang menghadapi masalah hukum terkait profesinya.
Ketua DKGI Wardiman Djojonegoro mengatakan, Undang- Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengharuskan adanya kode etik dan dewan kehormatan, yang akan membina profesi guru terus-menerus.
”Kode etik ini sebagai standar perilaku guru. Adapun dewan kehormatan sebagai pengawasnya,” kata Wardiman.
Wardiman mengatakan, guru saat ini masih diperlakukan semena-mena. Tujuan guru untuk mendidik sering diartikan salah oleh sebagian masyarakat sehingga guru malah diajukan secara pidana.
”Dewan kehormatan nanti akan bisa memilah-milah dan memberi rekomendasi mana tindakan guru yang masuk pelanggaran etika, disiplin, atau pelanggaran hukum. Kita mencoba melindungi profesi guru dengan tetap berpihak pada kepentingan terbaik anak,” ujarnya.
Sudarto, Sekretaris DKGI, menyatakan, kode etik guru Indonesia sebenarnya sudah dimiliki PGRI sejak 2008. Namun, penyempurnaan terus dilakukan sehingga kode etik ini sekarang relatif lengkap. Kode etik ini mengatur pula hubungan guru dengan peserta didik, orangtua atau wali murid, masyarakat, sekolah dan rekan sejawat, profesi, organisasi profesi, dan pemerintah. ”PGRI berupaya supaya tiap guru terikat pada etika dan norma. Jika ada pelanggaran, tentu ada sanksi yang diberlakukan,” kata Sudarto.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo,
”Ada ketakutan dan ketidakpastian di kalangan guru saat memberikan sanksi kepada siswanya karena rawan untuk dilaporkan pada polisi,” kata Sulistiyo.