Penentu keberhasilan sistem pendidikan nasional di Jepang bukan hanya pada ketersediaan fasilitas kegiatan belajar-mengajar yang lengkap dan berteknologi canggih. Yang dibutuhkan adalah guru yang mengajar dengan serius dan ikhlas karena peduli dengan perkembangan anak didiknya.
Hal itu yang dilihat dan dirasakan 11 guru pesantren dan pimpinan pesantren dari berbagai daerah di Indonesia ketika diundang berkunjung ke beberapa kota di Jepang selama 6-15 November 2012. Para guru antara lain berkunjung ke SD Iwakiri, SD Kesennuma, SMP Senkawa, SMA Nishi, SMP/SMA Todai-ji. Mereka juga tinggal bersama keluarga Jepang di Hiroshima di program home stay.
”Guru di Jepang yang menangani siswa terutama anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi itu telaten dan mengayomi siswa. Banyak pengalaman yang akan kami terapkan di pesantren kami,” kata Mutiara Fahmi Razali (39), guru pesantren Dayah Darul Ihsan Aceh, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Guru di semua sekolah yang dikunjungi, kata Lilis Muslihah Salim (46) dari Yayasan Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah DKI Jakarta, diharuskan memiliki kemampuan bukan hanya olah pikir, melainkan juga olah rasa seperti memiliki keterampilan seni. ”Siswa bukan hanya cerdas di bidang akademik, melainkan juga nonakademik,” ujarnya.
Guru-guru jadi panutan para siswa. Anak butuh tokoh panutan sejak usia dini. Hal ini yang tak terjadi di sebagian besar institusi pendidikan di Indonesia.
Tokoh panutan anak bisa mengajarkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian mengakar dalam pribadi menjadi watak dan karakter. Disiplin, jujur, malu, menghormati, dan membantu orang tua, guru, sesama, dan alam sekitar merupakan contoh karakter siswa yang ingin dibentuk.