Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum Pendidikan Bebas Beban

Kompas.com - 07/12/2012, 02:03 WIB

Oleh Yohanes Sanaha Purba

Pemerintah berencana mengurangi beban belajar siswa SD melalui peleburan mata pelajaran IPA dan IPS ke dalam enam mata pelajaran lain.

Enam mata pelajaran itu adalah Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Matematika, Bahasa Indonesia, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Diharapkan aktivitas belajar anak akan lebih dekat dengan kehidupan bermain yang selama ini terampas oleh kegiatan sekolah.

Perlu dihargai motif baik di balik rencana perubahan kurikulum tersebut. Kini poin kritisnya justru sejauh mana strategi pendidikan yang digagas pemerintah telah menjawab beban berat anak bersekolah.

Rasanya, sejak kurikulum Rentjana Pendidikan 1947 hingga sekarang kita tidak pernah memiliki konsep pendidikan anak yang jelas. Secara historis, perubahan kurikulum di Indonesia acap bersifat reaktif terhadap kebutuhan pragmatis orang dewasa sebagai representasi negara, agama, dan pasar. Dalam desain pendidikan anak, kita justru acap mengabaikan kebutuhan dan hak anak meskipun seolah-olah merekalah yang diprioritaskan.

Jika kita hendak mengurangi beban belajar anak, bukankah lebih efektif menghapuskan ujian nasional yang kerap jadi alasan di balik padatnya aktivitas belajar anak? Bukankah begitu banyak anak yang frustrasi menjelang dan setelah ujian nasional?

Coba kita tengok juga keseharian seorang anak. Lebih kurang lima jam dihabiskannya di sekolah. Itu pun jika tak ada kegiatan tambahan semacam pramuka atau matrikulasi. Belum lagi bila anak belum melampaui batas ketuntasan minimal. Dengan segera guru harus merancang kegiatan tambahan berupa remedi agar anak itu mencapai angka tuntas. Padahal, angka tuntas bukan hasil keputusan guru, melainkan tekanan dinas pendidikan setempat. Angka tuntas penting untuk merepresentasikan prestasi pendidikan sebuah kabupaten ataupun provinsi.

Negara pun tidak rela melihat anak-anak memiliki waktu luang. Mendikbud M Nuh pernah menyatakan akan menambah jam belajar di sekolah demi memproteksi siswa dari lingkungan negatif di luar sekolah. Kini, pertanyaannya, siapa yang membebani anak di sekolah?

Hilang daya kritis

Penyederhanaan yang diperlukan saat ini justru bukan pada ranah keilmuan, melainkan pola sistem pendidikan di Indonesia yang direcoki birokratisme dan formalisme seremonial. Standardisasi nasional memang perlu, tetapi bila menguras energi anak dalam indikator-indikator kemajuan yang membebani, sudah sepantasnya lebih disederhanakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com