Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Zamannya Menghafal Pelajaran

Kompas.com - 07/12/2012, 03:33 WIB

Oleh HARYO DAMARDONO

Saya ingin menciptakan alat suntik yang bisa menyuntik sendiri. Jadi, alat itu menyuntik setelah teman-teman memencet sendiri komputer karena teman-teman takut kepada dokter,” kata Isabella, murid TK B Sekolah Citra Berkat. Usianya baru lima tahun, tetapi dia telah berpikir untuk menciptakan sesuatu.

Isabella merupakan pelajar Sekolah Citra Berkat, Bukit Palma, Surabaya, lembaga pendidikan yang didirikan Grup Ciputra. Meski mendasarkan diri pada kurikulum nasional 2006, sekolah ini menekankan pada pembentukan pola pikir dan karakter kewirausahaan atau entrepreneurship.

Tidak heran apabila sejak dini, pelajar di sekolah-sekolah Grup Ciputra sudah diajak mengamati berbagai kegiatan bisnis, di antaranya mengunjungi toko dan bengkel mobil.

”Kami berangkat dari pandangan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju harus dengan menambah jumlah pencipta kerja atau entrepreneur,” kata Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC).

Menurut Antonius Tanan, dalam waktu singkat harus diperbanyak anak-anak Indonesia seperti Isabella. Sebab, kini hanya kurang dari 2 persen penduduk Indonesia merupakan entrepreneur.

Menjamurnya pedagang atau kawasan komersial pada saat ini tidak selalu dipandang positif oleh Antonius Tanan. Ada kalanya mereka berdagang karena terpaksa (necessity entrepreneur), wirausaha yang justru menambah panjang rantai perdagangan (redistribusi), pedagang yang sekadar meramaikan tren atau istilah kerennya follower (replikatif).

”Yang dibutuhkan adalah entrepreneur inovatif,” ujarnya.

Wirausaha seperti itu sangat dibutuhkan bukan hanya untuk dunia perdagangan, melainkan juga untuk menciptakan berbagai produk, seperti mobil, motor, dan telepon seluler. Produk yang nantinya layak dilabeli ”made in Indonesia”.

Dalam diskusi pendidikan terkait rencana pemberlakuan Kurikulum 2013, Senin (3/12), di Bentara Budaya Jakarta, misalnya, diangkat realitas jumlah telepon seluler yang melebihi jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, benda itu diimpor dari negara lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com