Kemdikbud mengumpulkan 33 kepala dinas pendidikan provinsi guna membahas nasib 1.300-an sekolah berlabel RSBI/ SBI di seluruh Indonesia. Pertemuan ini membahas bagaimana kelembagaan dan kegiatan pembelajaran sekolah eks RSBI pasca-putusan Mahkamah Konstitusi.
Pertemuan kali ini tampaknya berupaya mengonsolidasi pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota agar mempertahankan penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/ SBI) meski kelembagaan dan nama akan berubah. Hal ini terlihat dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pasca-pertemuan. Ia tetap memandang penyelenggaraan mutu masih didasarkan pada sekolah unggulan.
Selain itu, M Nuh juga masih membolehkan sekolah eks RSBI tetap bisa menarik pungutan dari masyarakat. Ke depan, sekolah eks RSBI diprediksi hanya ganti nama dan kelembagaan. Prinsip dan semangat penyelenggaraannya masih tetap sama.
Sesat pikir
Salah satu pertimbangan hakim konstitusi menghilangkan Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional—dasar hukum penyelenggaraan RSBI/SBI— adalah konsep dan penyelenggaraan RSBI mengandung faham komersialisasi, diskriminasi, dan liberalisasi pendidikan. Tiga hal ini dinilai MK bertentangan dengan UUD 1945.
Hakim MK menyatakan, tidak ada penjelasan spesifik atas frasa ”satuan pendidikan bertaraf internasional” pada Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas. Penjelasan ini justru ada di Permendiknas No 78/2008 tentang Penyelenggaraan SBI di Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam Permendiknas itu, SBI didefinisikan sebagai sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan yang diperkaya keunggulan mutu tertentu dari negara anggota
Dari definisi ini dapat disimpulkan, pendidikan bermutu yang dimaksud adalah pendidikan yang diselenggarakan bangsa lain, terutama yang tergabung dalam negara OECD. Dengan kata lain, pendidikan bangsa Indonesia belum bermutu dan harus mencontoh bangsa lain. Pertanyaannya, apakah pendidikan bermutu bangsa ini harus menggunakan ukuran bangsa lain? Sebagai bangsa yang berdaulat, apakah kita tak mampu mendefinisikan dan menetapkan ukuran pendidikan bermutu tersebut?
Coba lihat praktik di RSBI/SBI yang diarahkan dan berlomba- lomba membeli kurikulum satuan pendidikan luar negeri, membuat kerja sama dengan sekolah negara lain, mengirimkan guru berwisata ke negara tersebut, dan dengan bangga membayarnya secara mahal. Mengapa mereka tak diarahkan berpikir dan menilai bahwa suatu kebanggaan jika menggunakan ukuran pendidikan bermutu sendiri yang didasarkan falsafah dan nilai-nilai luhur bangsa?