Jakarta, Kompas -
”Bangun sebanyak-banyaknya ruang interaksi untuk masyarakat sehingga tensi kota bisa turun. Individu-individu yang ada di dalamnya juga turun (tensinya). Namun, ini semua masih proses,” kata Jokowi, Rabu (13/3), di Balaikota.
Menurut dia, keberadaan ruang-ruang terbuka hijau (RTH) bisa turut mendinginkan suasana kota yang gerah, sumpek, dan terasa kurang manusiawi.
Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat mengatakan, penyediaan ruang publik dan RTH selalu diakomodasi dalam rencana tata ruang kota. Tujuannya, masyarakat berinteraksi secara positif dengan warga di lingkungannya dan mengurangi tindak kekerasan.
”Penyediaannya memang belum optimal. Pemprov punya keterbatasan anggaran, tetapi rencana tata ruang kota yang sehat selalu diakomodasi,” ujarnya.
RTH yang ada di Jakarta, menurut Gamal, saat ini berkisar 9,5-10 persen dari luas wilayah. Penambahan RTH sering kali terkendala pembebasan lahan. Pemprov DKI Jakarta masih mengupayakan distribusi fasilitas publik yang merata di semua wilayah untuk menekan pertumbuhan kantong-kantong padat penduduk yang cenderung kumuh.
Jokowi mengakui saat ini belum memikirkan pemerataan penduduk untuk membagi beban kota dan mengurai kepadatan penduduk di sejumlah wilayah. ”Sementara ini yang terpadat memang wilayah Jakarta Timur. Saya belum sampai ke sana (pemerataan penduduk),” ujarnya.
Seluruh satuan kerja perangkat dinas di DKI harus mampu menerjemahkan visi gubernur. Setiap program kerja bermuara menciptakan kota sehat yang lebih manusiawi.
Pengamat kesehatan jiwa dan psikososial G Pandu Setiawan sepakat, untuk mewujudkan masyarakat kota yang sehat, kebijakan publik harus pro-kesehatan jiwa.
”Jangan berkutat pada pembangunan rumah sakit/rumah sakit jiwa, pengadaan obat, dan lainnya. Namun, ada anggaran untuk peningkatan kualitas hidup warga dari sisi pangan, pendidikan, hingga konsultasi keluarga. Semaksimal mungkin cegah potensi kekerasan dalam rumah tangga,” katanya.
Sejalan dengan program pemerintah, upaya yang tidak kalah penting adalah mengetahui penyebab kekerasan dengan melibatkan psikiatri dan psikolog. Memahami penyebab kekerasan kasus per kasus kejahatan bisa membantu memformulasikan upaya antisipasi sejak dini terhadap potensi terjadinya kasus serupa.
”Saya yakin, ada trauma masa kecil yang membekas dan memengaruhi pelaku. Jika masalah ini terungkap, mungkin masyarakat bisa belajar agar tidak terjadi trauma serupa pada anak-anaknya,” kata Pandu.