Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum "Struktur Teks"

Kompas.com - 03/04/2013, 02:29 WIB

MARYANTO

Kurikulum 2013 kembali disorot. Rancangan pembelajaran Bahasa Indonesia dianggap langkah mundur karena berhaluan strukturalis.

Seolah-olah sudah usang dan tabu kata struktur digunakan untuk belajar bahasa.

Marilah merenung sejenak. Bahasa tak bakal lepas dari urusan struktur. Bandingkan bunyi /a/ dengan /i/. Bunyi ujaran terkecil itu masing-masing terstruktur rapi dari bentuk bibir dan lidah serta mulut yang ketiganya tak mungkin acak-acakan. Urusan bahasa yang lebih besar, misal untuk bernegosiasi, juga bersangkut- paut dengan persoalan struktur. Sebuah negosiasi yang amburadul teks bahasanya dapat dipastikan akan gagal untuk mencapai kompromi.

Sorotan Bambang Kaswanti Purwo, Kurikulum Bahasa Indonesia (Kompas , 20/3), sangat tajam dan tentu menarik bagi publik yang peduli akan nasib Bahasa Indonesia ke depan. Jika tujuannya untuk menelaah kritis pembelajaran bahasa berbasis teks, bacaan yang disuguhkan bambang itu belum komprehensif dan pembaca pun akan berprasangka bahwa Kurikulum 2013 dikembangkan tanpa kemauan politik untuk melakukan inovasi perencanaan bahasa nasional.

Bukan sekadar mapel

Tulisan Bambang mengajak publik menengok ke belakang perjalanan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran (mapel) dari masa ke masa pemberlakuan kurikulum: 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Sepanjang perjalanan itu, Bahasa Indonesia ternyata tak kunjung bermartabat; literasi kepada anak Indonesia tetap saja jeblok. Kenyataan itu agaknya luput dari perhatian Bambang. Kurikulum 2013 menempatkan Bahasa Indonesia sangat bermartabat. Sistem pendidikan Indonesia akan segera meninggalkan masa kelam ketika bahasa nasional ini dilecehkan pada setiap satuan pendidikan dengan kamuflase sekolah berstandar (bahasa) internasional. Kini Bahasa Indonesia dijadikan mapel penghela, penghulu, atau pembawa ilmu pengetahuan.

Untuk memberlakukan Kurikulum 2013, benar apa yang hendak dikatakan Bambang: proses pembelajaran Bahasa Indonesia tak boleh bergerak mundur. Proses Bahasa Indonesia di sekolah haruslah berjalan jauh lebih maju sehingga mampu membawa proses pembelajaran lain, seperti IPA dan IPS di sekolah dasar (SD). Untuk itu, dari tingkat SD, Bahasa Indonesia dirancang pembelajarannya secara utuh berbasis teks. Teks di sini berbentuk tulisan, lisan, dan—bahkan—multimodal, seperti gambar. Setiap teks bahasa Indonesia diproses di kelas sekaligus untuk mencari dan menemukan ilmu pengetahuan di luar bahasa. Sebagai contoh di kelas I SD, terdapat pelajaran IPA tentang anggota tubuh dan panca indera. Materi IPA itu dikemas dalam pembelajaran teks deskripsi dengan struktur: pernyataan umum mengenai ihwal yang dideskripsikan dan pernyataan khusus mengenai bagian-bagian yang dideskripsikan.

Melalui pembelajaran teks itu, anak dapat digiring untuk memulai deskripsi dengan pernyataan umum mengenai sikap mereka, seperti tanggung jawab, peduli, dan percaya diri terhadap tubuh dan panca indera yang dimiliki— apa pun kondisinya—sebagai anugerah Tuhan.

Pembelajaran teks sangat terikat struktur. Tak hanya teks yang terstruktur. Pembelajarannya juga terstruktur rapi dengan orientasi pada sikap (spiritual dan sosial), pengetahuan, dan keterampilan. Secara metodologis- pedagogis, pembelajaran teks selalu diproses dengan tahapan pembangunan konteks, pemodelan teks, kerja sama membangun teks, dan kerja mandiri meng embangkan teks. Konteks pem - belajaran dibangun menurut situasi dan budaya yang dihadapi anak sehari-hari. Jika dalam keseharian, misal, anak daerah Jawa lebih akrab dengan kata irung daripada hidung, pemanfaatan kosakata daerah itu akan didahulukan untuk membantu anak memahami dan memproduksi teks. Kosakata bahasa nasional yang dibakukan (kosakata baku) mulai dipilah dan dipilih di kelas tinggi (kelas IV SD). Di kelas rendah, dengan pembelajaran teks, kehadiran Bahasa Indonesia tidak akan mengagetkan atau menakutkan bagi anak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com