Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eklektisisme Kurikulum 2013

Kompas.com - 05/04/2013, 02:35 WIB

Doni Koesoema A

Sebagai orang yang pernah studi khusus tentang kurikulum dan pengajaran, membaca kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam Kurikulum 2013 saya seperti mengikuti sebuah alur perjalanan pendidikan yang aneh.

Nalar saya tak dapat memahami dan daya imajinasi saya tidak dapat membayangkan seperti apa praktik pembelajaran Kurikulum 2013 ini di kelas, bagaimana sistem evaluasinya, dan betapa sibuknya guru karena bingung menerapkan Kurikulum 2013 di kelas. Saya coba menemukan di mana letak keanehan dan kecanggungan ini. Akhirnya saya menemukan satu penjelasan resmi tentang mengapa Kurikulum 2013 memang terasa aneh, di mana kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) sepertinya dipaksa-paksakan. Alasan ini ada dalam pilihan filsafat yang melandasi Kurikulum 2013, yaitu filsafat eklektisisme!

Dalam buku penjelasan tentang KI dan KD untuk sekolah dasar tertulis, ”filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik”. Selain menyebut kehadiran filsafat eklektik, aliran filsafat lain juga disebutkan, seperti perenialisme, esensialisme, humanisme, progresifisme, dan rekonstruktifisme sosial.

Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik, seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi, nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaidah filosofi esensialisme dan perenialisme.

Saya yakin, kalau kita tanya kepada para guru tentang aliran-aliran filsafat yang disebutkan dalam penjelasan KI dan KD Kurikulum 2013, dapat dipastikan mereka tidak banyak tahu tentang aliran-aliran filsafat itu. Jadi, penyebutan berbagai macam aliran filsafat di atas tidak akan memiliki banyak arti bagi guru karena mereka sebagian jarang berurusan dengan pemikiran filosofis seperti di atas.

Arus pemikiran pendidikan

Filsafat pendidikan perenialisme atau tradisionalisme pada intinya ingin mengatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini, sesungguhnya telah ada dari dulu. Prinsip ini berlaku sepanjang masa—di mana pun dan kapan pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi peradaban umat manusia.

Maka, tugas pendidikan mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan yang berlaku universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Fakta-fakta akan berubah, tetapi prinsip pendidikan tetap. Inilah yang harus diajarkan di sekolah.

Filsafat pendidikan esensialis sebaliknya, yakni ingin mengajarkan hal-hal yang mendasar, tetapi tak fundamental, melainkan esensial yang dibutuhkan peserta didik, berupa pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka bisa hidup di dunia nyata. Filsafat ini tidak mengutamakan isi pengetahuan, tetapi mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan. Dengan keterampilan ini, siswa dapat hidup di masyarakat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau