Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan untuk Presiden: Hapus UN dan Pecat Menterinya

Kompas.com - 22/04/2013, 14:36 WIB
Caroline Damanik

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Desakan penghapusan ujian nasional (UN) diserukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. UN dinilai cacat secara hukum dan praktik sehingga harus segera dihentikan.

"Meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI taat hukum dan undang-undang dengan menghapus UN serta merumuskan kembali model evaluasi yang sesuai dengan perundang-undangan dan model pembelajaran yang direkomendasikan/yang dipilih," demikian yang disampaikan LBH Jakarta melalui rilis resmi yang diterima Kompas.com, akhir pekan lalu.

LBH Jakarta menyatakan bahwa alih-alih menaati perintah pengadilan, pemerintah justru dengan gamblang mengajarkan kepada masyarakat untuk mengabaikan dan melawan hukum atas putusan tentang UN yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tertanggal 21 Mei 2007. Putusan yang juga telah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA) menyebutkan empat poin berikut ini:

1. Menyatakan Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas (Mendikbud), dan Ketua Badan Standar Nasional pendidikan lalai dalam memenuhi hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan dan hak-hak anak.

2. Memerintahkan kepada Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas (Mendikbud), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.

3. Memerintahkan kepada Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas (Mendikbud), dan Ketua BNSP untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan ujian nasional.

4. Memerintahkan kepada Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas (Mendikbud), dan Ketua BNSP meninjau ulang sistem pendidikan nasional.

Dalam pertimbangannya, hakim juga menyebutkan bahwa UN berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak dan menanamkan perilaku korupsi kepada anak. Permohonan eksekusi telah diajukan dan bahkan PN Jakarta Pusat sudah mengajukan peringatan kepada Presiden, Wapres, Mendikbud, dan Ketua Badan BSNP untuk melaksanakan putusan tersebut. Namun, hingga kini, UN tetap digelar, bahkan penyelenggaraannya amburadul.

"Bukan hanya melawan perintah pengadilan, sesungguhnya Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua BNSP pun secara tidak malu melanggar UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana Pasal 58 dengan jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan," kata LBH Jakarta.

Pecat menterinya

LBH Jakarta juga merekomendasikan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menghentikan M Nuh dari kursi Mendikbud. Mantan Menkominfo itu terbukti gagal.

"Karena jelas telah terbukti tidak bisa bertanggung jawab dan memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," demikian tertulis.

Sejak mulai digelar pada 2004, UN terus menimbulkan permasalahan. LBH Jakarta mencatat 11 kekacauan besar terjadi pada penyelenggaraan UN tahun 2013 untuk jenjang SMA, yaitu penundaan ujian nasional di 11 provinsi,  keterlambatan paket soal, kekurangan lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran tertukar, kualitas kertas yang buruk, soal ujian nasional tercecer, tidak bisa mengikuti karena berhadapan dengan hukum, sekolah tidak kebagian soal dan lembar jawaban, materi ujian tak sesuai jadwal, problem UN untuk siswa berkebutuhan khusus, serta pengiriman soal salah daerah.

Namun, gagalnya UN dinilai bukan semata karena persoalan teknis dan kapabilitas Mendikbud dan jajarannya. Hanya saja, para pejabat negara yang berwenang dinilai telah melakukan pembangkangan hukum, mengalami disorientasi pendidikan yang mengancam rusaknya generasi bangsa. 

"Seandainya pemerintah menaati perintah putusan pengadilan di atas, kejadian dan kekacauan-kekacauan UN di setiap tahun bisa dihindari," lanjut keterangan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com