Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemimpinan Berbudaya Nalar

Kompas.com - 25/04/2013, 02:08 WIB

Oleh Iwan Pranoto

Dalam film berdasar kisah nyata, October Sky, diceritakan gelora seorang pelajar bernama Homer Hickam dan beberapa karibnya dalam berilmu-pengetahuan pada sekitar 1957.

Dengan dibantu seorang guru ilmu alam yang penuh gairah mengajar, para pelajar di daerah pertambangan miskin Collingwood, Amerika Serikat, itu tiba-tiba tersadar atas hasratnya berilmu-pengetahuan. Jika semula capaian hidup sebatas menjadi petambang atau atlet, tiba-tiba gagasan menjadi ilmuwan begitu menarik dalam benak pelajar di seluruh pelosok.

Pemantiknya adalah kejadian luar biasa Uni Soviet yang berhasil melontarkan pesawat luar angkasa Sputnik yang mengorbit Bumi disertai pemberitaan media yang meluas. Di langit Oktober yang sejuk dan cerah, masyarakat awam, muda dan tua, menengadah ke langit memandang Sputnik yang sedang mengorbit. Pengalaman mengamati Sputnik yang sekadar setitik kemerlip melesat di angkasa sambil mengirimkan sinyal radio sepele, ”bip, bip, bip”, membuat para pelajar tersadar atas kerennya berilmu-pengetahuan.

Dalam kehidupan nyata, Homer kemudian menjadi seorang rekayasawan NASA yang andal. Semua teman dekatnya juga menjadi orang berhasil. Di tingkat nasional, saintis dan rekayasawan generasi Homer, yakni generasi 1960-an itu, menjadi benak janin Apollo, sebuah program kedirgantaraan luar biasa.

Mimpi, upaya, dan keberhasilan manusia menjelajah Bulan ini disebut sebagai salah satu batu penanda peradaban agung kemanusiaan yang pernah ada hingga kini. Hampir semua ilmuwan dan pakar sejarah sains sepakat, kejadian mengorbitnya Sputnik telah membangkitkan kasmaran berilmu-pengetahuan dalam sanubari para pelajar AS. Hal ini telah mengubah sejarah hidup AS selamanya.

Apa syarat bagi bangkitnya kasmaran berilmu-pengetahuan pada masyarakat? Dari kisah nyata tersebut, setidaknya dapat dicatat tiga unsur yang saling terkait. Pertama, terjadinya sebuah peristiwa luar biasa. Kedua, berperannya kepemimpinan dalam pendidikan yang melibatkan dan menyadarkan masyarakat dengan konsekuensi logis atas kejadian luar biasa tersebut. Ketiga, berfungsinya media yang mengulas dan memberitakan budaya ilmiah secara berkelanjutan ke masyarakat.

”Kepemimpinan 2.0”

Dalam suatu kesempatan, Prof Abin Syamsudin Makmun dari Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan, pembenaran perlunya sebuah kebijakan pendidikan yang mendasar, seperti sebuah kurikulum baru, memerlukan pemantik berupa kejadian yang benar-benar luar biasa. Sebutlah seperti krisis Sputnik di AS tadi, atau jatuhnya bom di Nagasaki, Jepang. Kejadian luar biasa membenarkan sekaligus membuat upaya perubahan kebijakan pendidikan mendasar akan berhasil.

Untuk Indonesia sekarang, satu calon pemicunya adalah perilaku nirnalar yang sudah menjangkiti semua lini kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali masyarakat di dunia pendidikan. Tanpa bermaksud berlebihan, perilaku nirnalar ini sedikit banyak menjadi penyebab suburnya kekeliruan kolektif, seperti pengabaian hukum dan aturan yang telah dianggap wajar. Ini unsur pertama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com