Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Kreatif yang Saling Menghidupi

Kompas.com - 21/05/2013, 16:07 WIB

KOMPAS.com - Apa yang terpikir begitu Anda mendengar tentang ”industri kreatif”? Sebagian orang membayangkannya sebagai berbagai produk mode, seperti kaus, aksesori, topi, jins, batik, dan furnitur. Ada pula orang yang mengaitkan industri kreatif dengan berbagai produk berkaitan dengan gaya hidup kaum muda, mulai dari pakaian sampai musik dan film.

Padahal mengutip ucapan Ina Primiana, Guru Besar Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Bandung, industri kreatif mencakup industri, baik yang sudah ada maupun yang memberi nilai tambah secara ekonomi pada produk tersebut. Contohnya, bagaimana kita bisa memberi nilai tambah ekonomi pada produk pertanian ataupun industri jasa seperti turisme.

”Industri kreatif tidak mematikan industri yang sudah ada, tetapi justru saling menghidupi,” kata Ina. Ia menjadi narasumber dalam diskusi tentang Bandung dan perkembangan industri kreatif yang diadakan di kantor perwakilan Harian Kompas, Bandung, Sabtu (18/5), bersama wakil gubernur terpilih Jawa Barat, Deddy Mizwar, dan Tubagus Fiki Chikara Satari, Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF).

Mitra diskusi mereka adalah sekitar 60 mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Bandung dan sekitarnya, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Manajemen Telkom Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Garut, Universitas Islam Nusantara, dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Sekadar contoh, dalam bidang turisme, suatu daerah tujuan wisata yang diberi sentuhan industri kreatif akan memberi peningkatan ekonomi setidaknya bagi masyarakat di sekitarnya, mulai dari rumah makan, produk suvenir, pertunjukan seni budaya, hingga penginapan.

Fiki menambahi dengan berbagai kegiatan kreatif yang bisa dimotori kaum muda. Ada banyak program BCCF selama 2008-2012, di antaranya Helarfest untuk menghidupkan ruang publik Kota Bandung dengan berbagai pertunjukan. Infrastruktur seperti halte bus dan angkutan kota (angkot) juga bisa diberi sentuhan ”industri kreatif”, misalnya dengan ”menjual” ruang yang ada kepada sponsor.

Wisata geologis

Muhammad Malik, mahasiswa ITB, urun rembuk dengan mengajukan kemungkinan diwujudkannya wisata geologis di beberapa kawasan di Jawa Barat. ”Misalnya di daerah Citatah atau di Rajamandala. Turis bisa menikmati keindahan sambil mendapatkan penjelasan dari sudut geologisnya,” ujarnya.

Wisata geologis, selain menawarkan hal yang berbeda untuk turis, juga menjadi tantangan bagi kita untuk memopulerkan istilah ataupun pengetahuan geologis agar dapat dipahami lebih banyak orang.

Sementara itu, Okky Pertiwi, mahasiswa UPI, mengingatkan potensi Bandung yang memiliki banyak museum, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Kurangnya sentuhan industri kreatif di sini membuat museum semakin tenggelam. Padahal potensinya sebagai salah satu tujuan wisata seharusnya tak diragukan lagi.

Nugraha, mahasiswa Universitas Islam Nusantara, menyinggung wilayah kuliner. Kata dia, semakin banyak makanan dari mancanegara hadir di Bandung, terutama di mal. Namun, di sisi lain, makanan khas setempat semakin kehilangan popularitasnya.

Keresahan para mahasiswa itu senada dengan Ina yang antara lain menyebutkan belum adanya kesamaan berpijak dari semua pihak dalam melihat industri kreatif. Ia memberi contoh keluhan produsen lokal yang merasa tak dilindungi. ”Mengapa untuk ekspor pengusaha lokal justru merasa sulit, sedangkan pengusaha yang mau impor (relatif) gampang?” ujarnya.

Deddy pun mengingatkan potensi industri kreatif tak hanya di Bandung. Nyaris seluruh wilayah Jabar memiliki potensi budaya. Sayangnya, belum ada pusat seni budaya di Jabar. ”Saya ingin anak muda bisa menjadi pelaku industri kreatif yang meskipun minoritas, mampu menggerakkan mayoritas masyarakat Jabar,” katanya.

Ia mencontohkan adanya komunitas film di Jatiwangi, Majalengka, yang mampu mengundang pelaku perfilman dari Brasil dan Jepang. ”Banyaknya hambatan justru memacu daya kreativitas anak muda untuk mengatasinya. Tantangan itu bukan untuk ditangisi,” ujarnya. (CP)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com