Masa Depan Itu Sekarang

Kompas.com - 17/06/2013, 16:38 WIB

Opini

Oleh Bambang Hidayat

Tahun 2045, tatkala kita memperingati 100 tahun NKRI, rasanya masih begitu jauh. Namun, dari sudut pembelajaran bangsa, sebenarnya momen itu merupakan tonggak di pengkolan jalan sebelah—artinya tidak jauh.

Ancang-ancang pendidikan sudah harus dimulai dari sekarang (H Gunawan, Kompas, 5 Maret 2013) kalau kita ingin Indonesia berperan dalam arus kemajuan dunia. Buchori dkk (BSNP, 2012) menandai pergeseran paradigma pendidikan dengan sidik tekno sains.

Dalam tekno sains, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdiri sendiri, tapi berdamping dengan ilmu sosial dan humaniora. Pembangunan watak abad ke-21 harus diumpan dengan kecerdasan dan nalar melalui proses ajar-mengajar yang dialogis.

Penalaran kritis

Maka, Iwan Pranoto (Kompas, 14 Desember 2012) ingin menumbuhkan cinta pada ilmu, sementara Daoed Joesoef (Kompas, 20 Mei 2013) memboboti jiwa keilmuan dengan penalaran kritis dan steril-dogma.

T Gunawan (Universitas Pembangunan Jaya) ingin membangun aspek penalaran dan membidani daya pikir kritis, menyatukan keilmuan eksakta dengan kehidupan. Maka, anak didik perlu dibekali adonan dasar disiplin ilmu yang bertali-temali.

Secara generik pendidikan sains dan teknologi seperti itu berlabel pendidikan sains pemerdekaan (sebagai padanan ”liberal”). Inilah salah satu sarana mengajarkan sains agar lulusan pendidikan tidak cepat merasa tahu dengan hanya satu disiplin ilmu. Tentu saja usaha ini tidak mengerdilkan upaya membentuk spesialis, tetapi bertujuan memijah warga muda menjiwai cara pandang luas, tidak miopik.

Perguruan tinggi memegang peran penting dalam mengonstruksi modal kultural dan modal sosial ke dalam kemajuan sains dan teknologi. Anak didik tidak lagi menjadi obyek, tetapi dirangkul sebagai sosok intelektual berwawasan luas dan terbuka. Kewajiban pendidik adalah membuat sosok intelektual itu jauh dari tipe ahistorikal.

Landas tujuan adalah ke-Indonesia-an karena pendidikan itu untuk manusia Indonesia yang akan membangun Indonesia. Peserta didik membawa bekal multikultural berbobot nilai luhur agama, watak etnik, gelegar bahasa-ibu dan budi bahasa daerah, yang tidak dapat dinafikan. Karena itu, proses pendidikan adalah olahan luhur, perlu kesediaan semua pihak menjiwainya.

Produk pendidikan harus mampu mengetengahkan keunggulan nalar daripada biseps dan terlatih berbahasa sopan dan rasional saat mempertentangkan atau menerima argumen. Jiwa zaman menjadi penting untuk disertakan dalam perhitungan karena masa depan mempunyai nuansa berbeda.

Tantangan

Anak didik tahun 2013 akan menghadapi kenaikan jumlah penduduk dan usia lanjut secara progresif, internasionalisasi yang membutuhkan penguasaan lebih dari satu bahasa internasional, terhapusnya batas geografi dan ranah ekonomi konvensional, kesadaran lingkungan, hak asasi dan kewajiban dasar manusiawi, serta perubahan nilai dan pandangan kemasyarakatan.

Pendidikan sains pemerdekaan tak lupa mengisi kemampuan berbahasa sebagai sarana komunikasi antarmanusia, antarwarga, dan antarbangsa, dengan penekanan pada kemampuan berkomunikasi, bukan sekadar bicara. Kita bersyukur memiliki lingua franca, bahasa Indonesia. Inilah perekat elemen kebangsaan yang mampu menyampaikan pesan kejiwaan dan spiritual.

Dalam perjalanan hidup, penulis menemui ungkapan bijak bahasa Jawa ajining diri mergo ukoro, yang artinya ’citra dan harga diri kita diukur dari tutur kata yang dikeluarkan’. Kalimat bersayap ini kongruen dengan adagium Whitehead, yang menyebutkan bahasa sebagai inkarnasi mental suatu bangsa.

Penguasaan bahasa tulis maupun tutur akan membebaskan masyarakat dari tindak kekerasan fisik provokatif. Menguasai bahasa dengan baik diharapkan dapat menyampaikan buah pikiran, induktif maupun deduktif, untuk beradu pendapat.

Pengajaran bahasa bertujuan menjadikan peserta didik mengenali kebutuhan sosial dan masalah negara secara dewasa, mengasimilasikan atau membandingkan dengan kebutuhan sendiri, ikut mematangkan intelektual, menjadi pisau bedah diagnostik untuk memahami teks dalam konteks.

Skema Pendidikan Nasional sudah dipakukan, yakni Indonesia yang berkultur jamak. Penalaran, berpikir logis, bebas tidak dogmatik, perlu diobori untuk memetakan jalan pembentukan manusia berkarakter mandiri, mampu menanggalkan ke-aku- an dan mentransformasinya menjadi ke-kita-an.

Itikad seperti itu semestinya tecermin dalam falsafah pendidikan dan ter-reka dalam wujud kurikulum yang membentuk penalaran. Pemilahan baik dan jelek bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh kepekaan dan kejernihan pikir masyarakat.

Bambang Hidayat Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau